Senin, 10 Juni 2013

ATJEH DALAM KONFLIK

 


    


Hampir 50 ribu tentara dikirim ke Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Uang Rp 1,23 triliun siap
dibelanjakan untuk pelaksanaan operasi keamanan di
propinsi itu. Pemerintah Jakarta sudah siap
menghancurkan kekuatan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) di “rumah mereka”. Masalahnya, otak gerakan itu, Hasan Muhammad di Tiro, tidak berada di
rumah. Hasan Tiro -begitu dia lebih dikenal- berada di
Swedia, sebuah negara di belahan Eropa. Mengirim tentara ke Swedia tentu mustahil.
Pemerintah Indonesia pun meminta penguasa di
Swedia untuk menghukum Hasan Tiro. Tokoh ini
disebut mensponsori gerakan pemisahan diri di
provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sayangnya,
permintaan itu sepertinya tidak digubris. Mereka beralasan, tidak punya bukti kongrit keterkaitan
warga negaranya, Hasan Tiro, dengan GAM. Siapa Hasan Tiro? Hasan merupakan pendeklarasi
kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976. Dia ikut
keluar-masuk hutan bersama pasukannya pada 1976
untuk memisahkan diri dari Indonesia. Perjuangannya
itu hanya berlangusng tiga tahun. Karena serangan
tentara Indonesia yang tak tertahankan, ia mengungsi ke berbagai negara, sebelum akhirnya menetap di
Stockholm, ibukota Swedia. Setelah jatuhnya Soeharto, isu Aceh merdeka kembali
menjadi sorotan dunia. Organisasinya (Gerakan Aceh
Merdeka) muncul ke pentas internasional. Hasan Tiro
pernah dan menandatangani deklarasi berdirinya
Negara Aceh Sumatra, pada akhir 2002. Dia juga
menandatangani surat perihal GAM yang dikirim kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-
Bangsa Kofi Annan pada 25 Januari 1999. Dalam
berbagai perundingan damai antara RI dan GAM, restu
Hasan Tiro selalu ditunggu. Pengakuan orang Aceh terhadap Hasan bukan hanya
karena perjuangannya. Dalam tubuhnya mengalir
darah biru para pejuang Aceh. Hasan lahir di Pidie,
Aceh, pada 4 September 1930 di Kampung Tiro,
sekitar 20 km dari Sigli. Dia adalah keturunan ketiga
Tengku Syeh Muhammad Saman di Tiro. Hasan merupakan anak kedua pasangan Tengku Pocut
Fatimah dan Tengku Muhammad Hasan. Tengku Pocut
inilah cucu perempuan Tengku Muhammad Saman di
Tiro. Kepemimpinan dalam birokrasi Aceh merdeka
merupakan sebuah takhta yang turun-temurun.
Ceritanya berawal dari wafatnya Sultan Muhammad
Daud Shah, sultan Kerajaan Iskandar Muda yang
terakhir, pada 1874, karena berperang melawan
Belanda. Karena anak sultan baru berusia 12 tahun, suksesi macet. Di tengah gentingnya suasana perang,
kekuasaan diserahkan ke Tengku Muhammad Saman
di Tiro (kakek buyut Hasan di Tiro) sebagai wali
negara sekaligus panglima perang. Karena posisinya sebagai keturunan Tengku Saman di
Tiro itulah ia memegang kendali Gerakan Aceh
Merdeka. Darah biru itu kemudian diperkaya dengan
ilmu hukum internasional yang ditimbanya di
Universitas Colombia, Amerika Serikat, hingga meraih
gelar doktor. Deklarasi kemerdekaan pada 1976, menghidupkan kembali ide Aceh yang sepenuhnya
terpisah dari Indonesia. Pada tahun itu Hasan datang
kembali ke Aceh setelah selama 25 tahun
meninggalkannya. Di Aceh, sejumlah tokoh yang
sebelumnya telah lama bergerilya melawan tentara
Indonesia, seperti Daud Paneuk dan Tengku Haji Ilyas Leube, menyambut kedatangan sang pemimpin. Sikap keras Hasan Tiro yang menolak Indonesia
merupakan perubahan besar dibanding era
sebelumnya. Sebelum berangkat ke Amerika pada
1950, dia terlibat aktif dalam berbagai organisasi
keindonesiaan. Ia, bersama abangnya, Zainul Abidin,
aktif dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI). Hasan bahkan pernah menjabat Ketua Muda PRI di Pidie
pada 1945. Ketika Wakil Perdana Menteri II dijabat Syafruddin
Prawiranegara, Hasan pernah menjadi stafnya. Atas
jasa Syafruddin jugalah Hasan mendapat beasiswa
Colombo Plan ke Amerika. “Malah sambil kuliah dia
diperbantukan sebagai staf penerangan Kedutaan
Besar Indonesia di PBB,” kata Isa Sulaiman, sejarawan dari Universitas Syiah Kuala. Artinya, pada
suatu periode Hasan pernah menaruh harapan pada
Indonesia. Setelah pecah pemberontakan DI/TII, sikap Tiro
mengeras. Dari Amerika, pada 9 September 1954,
Hasan Tiro pernah mengingatkan Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo agar menghentikan serangan
bersenjata kepada aktivis DI/TII di Aceh. Hasan
belakangan juga terlibat dalam Republik Persatuan Indonesia, sebuah “federasi” sepuluh daerah di
Sulawesi, Sumatra, dan Maluku sebagai perlawan
terhadap pemerintahan Sukarno yang sentralistis. Barulah pada Januari 1965, Hasan menggagaskan ide
Negara Aceh Sumatra Merdeka. “Jadi, apa yang
dilakukannya dengan memproklamasikan Negara
Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976 hanyalah
kristalisasi dari ide yang sudah disosialkannya sejak
1965,” kata Isa Sulaiman. Ide Aceh Sumatra diambil Tiro dari wilayah Kesultanan Iskandar Muda. Pada
masa jayanya kerajaan ini memang pernah sampai
menguasai Lampung, Bengkulu, dan sebagian wilayah
Malaysia. Dengan kata lain, pembebasan yang ingin
dilakukan oleh GAM adalah pembebasan terhadap
seluruh Sumatra. Hasan hingga kini menjadi tokoh sentral dari GAM.
Masalahnya, apakah sepeninggal Hasan Tiro, GAM
masih akan melanjutkan pola suksesi dan
pemerintahan ala kesultanan tersebut? Apakah Karim
Tiro (anak Hasan Tiro) akan menggantikan ayahnya
jika suatu ketika Hasan Tiro wafat -sesuatu yang akan menjadi persoalan sendiri mengingat Karim berdarah
Amerika dan ia tidak dikenal luas oleh masyarakat
Aceh? Terpusatnya kepemimpinan di tangan Hasan Tiro
pada gilirannya akan membawa persoalan pada
persetujuan politik yang harus dilakukan GAM dengan
elemen masyarakat Aceh lainnya. Sementara GAM
bukan satu-satunya elemen dalam masyarakat Aceh. Arif Zulkifli, A. Rulianto, Putri Alfarini Sumber: TEMPO BIODATA : Nama : Teungku Hasan Muhammad di Tiro Lahir : 25 September 1925, Pidie, Aceh Orangtua : Pocut Fatimah (Ibu), Teungku Muhammad
Hasan (Ayah) Istri : Dora wanita keturunan Iran berkebangsaan
Amerika Anak : Karim di Tiro (Doktor Sejarah dan mengajar di
AS) Pendidikan : Fakultas Hukum UII, Yogyakarta (1945) Ilmu Hukum International, Univesitas Columbia Pengalaman Organisasi : Pernah aktif dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI) Pernah menjabat Ketua Muda PRI di Pidie pada 1945 Staf Wakil Perdana Menteri II dijabat Syafruddin
Prawiranegara Staf penerangan Kedutaan Besar Indonesia di PBB Presiden National Liberation Front of Aceh Sumatra Dinas Penerangan Delegasi Indonesia di PBB,AS,
1950-1954 Ketua Mutabakh, Lembaga Nonstruktural Departemen
Dalam Negeri Libya Dianugerahi gelar Doktor Ilmu Hukum University of
Plano,Texas Lulusan University Columbia dan Fordam University di
New York Karya-karya : Mendirikan "Institut Aceh" di AS Dirut dari Doral International Ltd di New York Punya andil di Eropa, Arab dan Afrika dalam bisnis
pelayaran dan penerbangan Diangkat oleh Raja Feisal dari Arab Saudi sebagai
penasehat agung Muktamar Islam se-Dunia (1973) Mendeklarasikan Aceh merdeka pada 4 Desember
1976 untuk melawan pemerintah Indonesia Artikel berjudul The Legal Status of Acheh Sumatra
under International Law 1980 The Unfinished Diary Atjeh Bak Mata Donya (Aceh Dimata Dunia) Terlibat sebuah "federasi" 10 daerah di Sulawesi,
Sumatra, dan Maluku perlawanan terhadap
pemerintahan Soekarno Menggagaskan ide Negara Aceh Sumatra
Merdeka,1965


Tidak ada komentar:

Posting Komentar