Aceh Berdarah Lagi
Source : Serambi News
BELUM lagi tuntas kasus penembakan yang terjadi selama ini di Aceh diusut petugas, tiba-tiba kita disuguhkan berita yang menyayat hati yaitu, pemberondongan yang menewaskan 4 orang terjadi di Bireuen dan Banda Aceh (Serambi Indonesia, 2 Januari 2012). Kesedihan, hati luka, dan kekhawatiran itulah kesan pertama yang muncul dibenak semua orang ketika menyebut kondisi Aceh akhir-akhir ini.
Kejadian tersebut memang pantas mendeskripsikan wajah Aceh yang kembali berdarah. Berbagai peristiwa penembakan bagaikan drama serial yang sedang dipentaskan di Aceh, babak demi babak, episode demi episode berlalu dengan mulus dan terus berada dalam satu plot berita dan topik yang tak jauh berbeda yaitu sebuah bentuk teror bernuansa politik. Kenapa tidak, adegan demi adegan telah terjadi, adegan yang dilakoni mulai dari penembakan terhadap target person dengan tendensi politik sampai penembakan liar. Saya berasumsi, penembakan tersebut adalah sebuah bentuk teror yang dilakukan hanya untuk memperkeruh suasana damai Aceh lebih-lebih jelang pilkada.
Bagi masyarakat Aceh, penembakan yang terjadi selama ini merupakan hal yang biasa dan wujud dari sebuah risiko pengabdian mereka selama ini. Keadaan ini bukan infinitive, tapi bisa-bisa menjelma menjadi sebuah kekuatan yang tak terbatas (unlimited power) seperti sebuah pohon raksasa, jiwa itu membutuhkan banyak persyaratan seperti lingkungan, pendidikan, dan situasi tertentu, untuk bisa tumbuh besar, kenyataan ini merupakan sebuah keadaan yang lahir secara natural. Akan tetapi siapakah yang bisa menjamin persyaratan itu tidak selalu datang jika melihat catatan sejarah bumi nusantara ini, yang dipenuhi deretan panjang para tiran yang selalu menginginkan solusi teror dan darah?
Namun apa yang paling berharga dalam sebuah penembakan, teror seperti yang sedang terjadi saat ini di Aceh? Kemenangan mungkin, tapi kemenangan itu akan ada, kalau ada kekalahan. Di sini, kecuali teror, penembakan, juga ada keragu-raguan. Untuk apa teror dan penembakan itu dilakukan, Seperti yang sering dipertanyakan tentara-tentara Amerika di Vietnam atau mereka yang tak terlibat teror tapi tinggal di wilayah yang kerap dijadikan lahan teror, yang paling berharga adalah justru sebuah pengandaian; Bagaimana kalau teror seperti itu tidak dimulai? tentunya kemenangan dan kekalahan itu tak akan pernah datang--justru damai dan rasa aman yang senantiasa dirasakan.
Ketika berlangsung peristiwa penembakan seperti yang terjadi belakangan ini, kita kembali teringat tanah Aceh masa silam yang malang dan rakyat yang hengkang, kita ingat dia, bukan karena daerah ini dilibas oleh bedil-bedil Belanda dan Jepang. Kita ingat dia, karena ada sesuatu yang jauh sesudahnya. Nun, di saat negara ini menikmati kemerdekaannya, Aceh telah kembali mengawali sejarah kekejaman. Sebuah “proyek konflik” dikelola yaitu Operasi Militer.
Sejenak kita menapaktilasi potret tersebut ketika operasi militer berlangsung di Aceh, sebagian rakyat di pelosok-pelosok Aceh harus menguak mata lebar-lebar, sawah dan kebun telah berubah, gersang, tandus dan daun-daunnya menjadi pucat pasi. Arus-arus pengungsi berdiam di tempat pengungsian. Perempuan tua, anak-anak kecil, orang-orang tak berdosa, mereka membatin dalam kem pengungsian bahwa nilai-nilai kemanusiaan tidak lagi berharga, marwah tercampakkan, harga diri terabaikan.
Pembunuhan-pembunuhan ala “Kanibalisme Kuno” telah terjadi di depan mata walau dalam dunia modern kini. Jika itu masih ada, orang waras pasti marah dan mengutuknya. Sayangnya dunia modern sekarang ini masih mempertahankan “Neo Kanibalisme” yang mirip dengan Kanibalisme kuno. Cuma bentuk perlakuannya saja berbeda. Korban-korban “Neo Kanibalisme” dikeroyok oleh “Character Assassination” yaitu pembunuhan atau pemusnahan watak. Jahiliyah modern lebih azab dan hina, karena mereka bukan saja tidak kenal Allah, tetapi juga tidak kenal anak bangsanya sendiri malahan tidak kenal diri mereka sendiri. Tujuan hidup mereka seperti mesin atau robot bebas melakukan apa saja seperti binatang, sama dengan anggapan tokoh-tokoh pemikir modern, mark, Freud, Durkheim, Dawrin, Nietche, Machiavelli dan sebagainya. Maka tidaklah mengherankan dalam dunia sekarang ini terdapat banyak politikus, negarawan, ahli filsafat dan seniman terus meraba-raba dalam hidup dan kesehariannya karena buta dari tuntutan ilahi. Firman Allah, “Mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) daripada Hidayah. (Alquran : 41 : Ayat 7).
Ironi memang, ketika rakyat Aceh sedang merasakan kembali damai dalam spirit pemerintahan baru, lagi-lagi, Aceh bersimbah darah. Meskipun Pangdam Iskandar Muda menilai bahwa penembakan terakhir merupakan kepentingan perorangan bukan kepentingan organisasi. Namun saya sampai kini tidak pernah tahu tindakan teror model ini mengatasnamakan siapa, personal ataukah kelompok tertentu yang menginginkan Aceh kembali bersimbah darah.
Dalam hubungan itu sebuah teori konflik menjelaskan bahwa, awalnya mereka menebarkan isu-isu yang tak bertanggungjawab, menebarkan teror, ancaman, dan propaganda melalui tindakan. Propaganda selanjutnya adalah dengan mengajak rakyat berpartisipasi, semakin besar “partisipasi” masyarakat untuk bereaksi semakin besar ledakan. Jika itu jadi ledakan massa dengan rasa panik maka amat efektiflah propagandanya. Semakin besar korbannya dan semakin “edan” peristiwanya maka semakin “gendeng” pula hasilnya. Dengan pengalaman sejarah, rakyat Aceh telah tahu akan propaganda itu, namun mereka takut akan jari telunjuk mereka, bukan menunjuk haluan tempat kembali, tapi telunjuk untuk menarik pelatuk senjata.
Ingat ketika Henry Dunant Centre gagal, propaganda anti HDC dilancarkan usaha itupun berhasil yang akhirnya HDC menarik diri hingga Darurat Militer digelar di Aceh. Kejadian-kejadian itu telah menjadi sebuah pelajaran sekaligus nestapa bagi rakyat, dilematis memang, di saat rakyat ingin hidup damai dalam nuansa pemerintahan baru, di saat yang sama banyak pelaku teror bermunculan yaitu menciptakan konflik baru, menggagalkan proses damai dan tentunya dengan sebuah “grand scenario” supaya Aceh kembali berdarah. Allahu `Alam
Kejadian tersebut memang pantas mendeskripsikan wajah Aceh yang kembali berdarah. Berbagai peristiwa penembakan bagaikan drama serial yang sedang dipentaskan di Aceh, babak demi babak, episode demi episode berlalu dengan mulus dan terus berada dalam satu plot berita dan topik yang tak jauh berbeda yaitu sebuah bentuk teror bernuansa politik. Kenapa tidak, adegan demi adegan telah terjadi, adegan yang dilakoni mulai dari penembakan terhadap target person dengan tendensi politik sampai penembakan liar. Saya berasumsi, penembakan tersebut adalah sebuah bentuk teror yang dilakukan hanya untuk memperkeruh suasana damai Aceh lebih-lebih jelang pilkada.
Bagi masyarakat Aceh, penembakan yang terjadi selama ini merupakan hal yang biasa dan wujud dari sebuah risiko pengabdian mereka selama ini. Keadaan ini bukan infinitive, tapi bisa-bisa menjelma menjadi sebuah kekuatan yang tak terbatas (unlimited power) seperti sebuah pohon raksasa, jiwa itu membutuhkan banyak persyaratan seperti lingkungan, pendidikan, dan situasi tertentu, untuk bisa tumbuh besar, kenyataan ini merupakan sebuah keadaan yang lahir secara natural. Akan tetapi siapakah yang bisa menjamin persyaratan itu tidak selalu datang jika melihat catatan sejarah bumi nusantara ini, yang dipenuhi deretan panjang para tiran yang selalu menginginkan solusi teror dan darah?
Namun apa yang paling berharga dalam sebuah penembakan, teror seperti yang sedang terjadi saat ini di Aceh? Kemenangan mungkin, tapi kemenangan itu akan ada, kalau ada kekalahan. Di sini, kecuali teror, penembakan, juga ada keragu-raguan. Untuk apa teror dan penembakan itu dilakukan, Seperti yang sering dipertanyakan tentara-tentara Amerika di Vietnam atau mereka yang tak terlibat teror tapi tinggal di wilayah yang kerap dijadikan lahan teror, yang paling berharga adalah justru sebuah pengandaian; Bagaimana kalau teror seperti itu tidak dimulai? tentunya kemenangan dan kekalahan itu tak akan pernah datang--justru damai dan rasa aman yang senantiasa dirasakan.
Ketika berlangsung peristiwa penembakan seperti yang terjadi belakangan ini, kita kembali teringat tanah Aceh masa silam yang malang dan rakyat yang hengkang, kita ingat dia, bukan karena daerah ini dilibas oleh bedil-bedil Belanda dan Jepang. Kita ingat dia, karena ada sesuatu yang jauh sesudahnya. Nun, di saat negara ini menikmati kemerdekaannya, Aceh telah kembali mengawali sejarah kekejaman. Sebuah “proyek konflik” dikelola yaitu Operasi Militer.
Sejenak kita menapaktilasi potret tersebut ketika operasi militer berlangsung di Aceh, sebagian rakyat di pelosok-pelosok Aceh harus menguak mata lebar-lebar, sawah dan kebun telah berubah, gersang, tandus dan daun-daunnya menjadi pucat pasi. Arus-arus pengungsi berdiam di tempat pengungsian. Perempuan tua, anak-anak kecil, orang-orang tak berdosa, mereka membatin dalam kem pengungsian bahwa nilai-nilai kemanusiaan tidak lagi berharga, marwah tercampakkan, harga diri terabaikan.
Pembunuhan-pembunuhan ala “Kanibalisme Kuno” telah terjadi di depan mata walau dalam dunia modern kini. Jika itu masih ada, orang waras pasti marah dan mengutuknya. Sayangnya dunia modern sekarang ini masih mempertahankan “Neo Kanibalisme” yang mirip dengan Kanibalisme kuno. Cuma bentuk perlakuannya saja berbeda. Korban-korban “Neo Kanibalisme” dikeroyok oleh “Character Assassination” yaitu pembunuhan atau pemusnahan watak. Jahiliyah modern lebih azab dan hina, karena mereka bukan saja tidak kenal Allah, tetapi juga tidak kenal anak bangsanya sendiri malahan tidak kenal diri mereka sendiri. Tujuan hidup mereka seperti mesin atau robot bebas melakukan apa saja seperti binatang, sama dengan anggapan tokoh-tokoh pemikir modern, mark, Freud, Durkheim, Dawrin, Nietche, Machiavelli dan sebagainya. Maka tidaklah mengherankan dalam dunia sekarang ini terdapat banyak politikus, negarawan, ahli filsafat dan seniman terus meraba-raba dalam hidup dan kesehariannya karena buta dari tuntutan ilahi. Firman Allah, “Mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) daripada Hidayah. (Alquran : 41 : Ayat 7).
Ironi memang, ketika rakyat Aceh sedang merasakan kembali damai dalam spirit pemerintahan baru, lagi-lagi, Aceh bersimbah darah. Meskipun Pangdam Iskandar Muda menilai bahwa penembakan terakhir merupakan kepentingan perorangan bukan kepentingan organisasi. Namun saya sampai kini tidak pernah tahu tindakan teror model ini mengatasnamakan siapa, personal ataukah kelompok tertentu yang menginginkan Aceh kembali bersimbah darah.
Dalam hubungan itu sebuah teori konflik menjelaskan bahwa, awalnya mereka menebarkan isu-isu yang tak bertanggungjawab, menebarkan teror, ancaman, dan propaganda melalui tindakan. Propaganda selanjutnya adalah dengan mengajak rakyat berpartisipasi, semakin besar “partisipasi” masyarakat untuk bereaksi semakin besar ledakan. Jika itu jadi ledakan massa dengan rasa panik maka amat efektiflah propagandanya. Semakin besar korbannya dan semakin “edan” peristiwanya maka semakin “gendeng” pula hasilnya. Dengan pengalaman sejarah, rakyat Aceh telah tahu akan propaganda itu, namun mereka takut akan jari telunjuk mereka, bukan menunjuk haluan tempat kembali, tapi telunjuk untuk menarik pelatuk senjata.
Ingat ketika Henry Dunant Centre gagal, propaganda anti HDC dilancarkan usaha itupun berhasil yang akhirnya HDC menarik diri hingga Darurat Militer digelar di Aceh. Kejadian-kejadian itu telah menjadi sebuah pelajaran sekaligus nestapa bagi rakyat, dilematis memang, di saat rakyat ingin hidup damai dalam nuansa pemerintahan baru, di saat yang sama banyak pelaku teror bermunculan yaitu menciptakan konflik baru, menggagalkan proses damai dan tentunya dengan sebuah “grand scenario” supaya Aceh kembali berdarah. Allahu `Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar