Rabu, 14 Agustus 2013

Koalisi Lembaga Sipil Aceh ( KOLSA ) Memperingati Delapan Tahun MoU Helsingki

Ist
KOLSA
Lhokseumawe)- Koalisi lembaga sipil aceh memperingati hari 8 tahunya Mou Helsingki di Lhokseumawe 14 Agustus 2013 dalam Konfrensi pers, koalisi lembaga sipil aceh (kolsa) beserta GEMPA  , kmpa aceh utara, kmpa kota lhokseumawe, fopkra kota lhokseumawe,rampagoe,lsm siploh, lsm leukat, keumala, srikandi, luas, putroe aceh, apw,app, muna aceh utara, muna kota lhokseumawe,kpp, fopkra aceh utara.
Saat media ini mewawacarai salah seorang jurubicara KOLSA Bukhari, SE menyatakan  Konflik yang telah berlangsung puluhan tahun di Aceh adalah konflik Vertikal antara Pemerintah (sebagai Elite) dan Masyarakat Aceh (diwakili oleh GAM). Ketidakadilan selama itu pula yang dirasakan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat yang tidak memperhatikan kesejahteraan dan keadilan untuk merasakan hasil sumber daya alam yang berhak dinikmati oleh rakyat Aceh sendiri.
Ketidakpuasan terhadap pemerintahan pusat ini bermuara pada gerakan etno-religius yang terefleksikan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Gempa dan Tsunami yang melanda Aceh di penghujung Desember 2004 seakan memaksa penyelesaian konflik Aceh. Nota kesepahaman Helsinki ditandatangani hampir satu tahun pasca bencana masif tersebut. Pada bagian awal kesepahaman ini dicantumkan secara jelas bahwa MoU ini adalah bagian dari upaya pemulihan Aceh.
Pasca perdamaian 15 Agustus 2005, Aceh berhak atas pelaksanaan pemerintahan sendiri, berhak membuat UU Pemerintahan Aceh,  berhak mendirikan Partai Lokal untuk Pemilihan Umum Tingkat Provinsi, berhak mendapat jatah 70% dari pemasukan di sektor Migas, dan mantan anggota GAM mendapat amnesti dan reintegrasi kedalam masyarakat.
Beberapa point penting dalam nota kesepahaman (MoU) antara RI dengan GAM yang ditandatangani di Helsinki Finlandia ini adalah:
Pertama, Aceh memiliki kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan. Kewenangan ini memperlihatkan Aceh yang otonom.
Bahkan dalam hal kebijakan-kebijakan terkait dengan masalah Aceh, pemerintah pusat akan selalu mengkonsultasikannya dengan legislatif atau pemerintah Aceh. Aceh juga diperbolehkan menggunakan Simbol, Bendera Dan Himne Sendiri. (Point 1.1.5 MoU Helsinki)
Kedua, khusus dalam bidang ekonomi, Aceh juga memiliki kewenangan dalam sejumlah kebijakan, serta memperoleh penguasaan atas sumber daya alamnya sebesar 70%. (Point 1.3.4 MoU Helsinki)
Ketiga, pemerintah RI akan mematuhi kovenan internasional PBB mengenai hak sipil dan politik dan mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Keempat, pemerintah RI akan mengalokasikan dana bagi rehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh pemerintah Aceh.
Berdasarkan latar belakang di atas maka kami dari Koalisi Lembaga Sipil Aceh (KOLSA) pada hari ini dalam momentum Peringatan 8 Tahun Memorandum Of Understanding (MoU) Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal 15 Agustus 2005 di Finlandia, dengan ini menyatakan :
1.    Mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk Segera menyelesaikan turunan point-point MoU Helsinki.
2.    Mendesak Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Aceh untuk merevisi Undang-Undang Pemerintah Aceh agar sesuai dengan MoU Helsinki.
3.    Mendesak Pemerintah untuk segera menyusun dan mengesahkan PP dan Perpres serta Kepres yang menyangkut Kewenangan Aceh sebagaimana termaktub dalam UU Pemerintah Aceh.
4.    Mendesak Pemerintah Pusat agar tidak menghambat realisasi Qanun No. 3 Tahun 2013 tentang Lambang dan Bendera Aceh yang telah di sahkan oleh DPR Aceh.
5.    Meminta kepada seluruh Masyarakat Aceh,  Seluruh elemen baik Sipil maupun Militer di Aceh agar bersama-sama menjaga perdamaian yang sudah berlangsung selama ini.
Koordinator Koalisi Lembaga Sipil Aceh ( K O L S A ) Sulaiman Daud, S.HI, menambahkan Konflik Aceh bersifat multidimensi karena juga berakar dari berbagai macam faktor penyebab. Mulai dari faktor historis, kultur (identitas), dan politik. Dalam konteks ini munculnya “perlawanan” masyarakat Aceh salah satunya disebabkan oleh ketidak keterbukaan pemerintahan indonesia terhadap rakyat aceh, marjinalisasi, atau keterpinggiran rakyat Aceh oleh kebijakan pemerintah pusat.
Selama pemerintahan Orde Baru, Aceh adalah salah satu wilayah kaya sumber daya, namun miskin. Penguasaan minyak dan gas, seperti di bagian utara Aceh, oleh perusahaan-perusahaan nasional maupun multinasional justru tidak berdampak positif bagi kesejahteraan rakyat Aceh sendiri. Hasil kekayaan Aceh “melayang” ke pemerintah pusat, dan kemudian dirubah identitasnya.
Mengenai paska MoU helsingki seharusnya segala permasalahan dan kewenangan rakyat aceh selesai tetapi kenyataan hari ini masih kurang keihlasan dan kejujuran pihak pemerintahan indonesia terhadap aceh belum terlaksana sebagamana mestinya, tegasnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar