Minggu, 24 Maret 2013

Rumah Ulama Besar Aceh Tgk M Hasan Krueng Kalee




Tak terlihat seorangpun di sekeliling rumah adat Aceh beratap rumbia itu, hanya beberapa helai pakaian tergantung di tali jemuran yang diikat di tiang ruma dan masih kokoh sebelah kiri tangga. Sebatang Jeumpa Puteh ukuran besar berdaun lebat tumbuh di halaman rumah yang dindingnya sudah mulai keropos pertanda rumah itu sudah terbilang tua.
Ukiran tangan motif khas Aceh dan tulisan arab begitu kental di tulak angen sebelah barat dan timur rumah. Tiga anak tangga dari semen mengawali enam anak tangga kayu yang membawa kita ke pintu rumah sebelah utara, sekitar empat meter sebelah selatan juga ada satu pintu lainnya, sayang kedua pintu itu tertutup.
 bawah Jeumpa Puteh, semerbak harumnya langsung menusuk hidungku begitu kakiku menginjak tanah yang masih dalam halaman rumah kayu itu, di waktu yang sama mataku tertuju ke seluruh area dan konstruksi rumah ulama besar Aceh, ia juga guru serta pemimpin bagi Aceh pada masanya.
Di rumah itulah Tgk Muhammad Hasan Krueng Kalee menjalani kesehariannya. Dalam buku Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee (1886-1973) yang ditulis oleh Mutia Fahmi Razali, Muhammad Faisal Sanusi dan Qusaiyen aly As Su’udi terbitan Yayasan Darul Ihsan Tgk H Hasan Krueng Kalee tahun 2010, rutinitas Abu (sebutan ulama di Aceh) dimulai dengan bangun pagi dan shalat Subuh berjamaah di bale dayah, lalu beliau turun ke bale sendiri. Disana Abu  membaca wirid sendirian, selesai dari sana beliau pulang ke rumah untuk sarapan.
Sekitar jam 8 Abu kembali ke dayah hingga menjelang shalat Dhuhur, selesai shalat Dhuhur Abu kembali ke rumah untuk makan siang dikawal oleh ajudannya, diantara yang pernah menjadi ajudannya adalah Tgk Sulaiman Lamteuba, Tgk Yunus Hamzah Jeunieb dan Tgk Daud Zamzami.
Setelah shalat magrib yang diimami olehnya, Abu kembali ke bale sendiri dan membaca wirid, setelah itu Abu kembali ke rumah dan terkadang menerima tamu, Begitulah rutinitas Abu antara rumah dan dayah dalam keseharian normalnya.
Dalam hati aku mengucapkan Assalamualaikum begitu menggerakkan kakiku menuju arah rumah yang berjarak 15 langkah dari tempatku berhenti. Beberapa kali aku mengamati secara dekat rumah itu, aku lalu lalang dari utara ke arah timur, sesekali menengadah ke atap paling tinggi rumah Abu.
Selain rumah induk yang ditopang 16 tiang penyangga utama berdiameter dua puluh centimeter dan tiga tiang lebih kecil dari tiang utama, di belakang rumah induk masih dua ruangan lagi yang dibangun sejajar dari sisi timur dan barat rumah induk, keduanya dalam kondisi tidak terpakai lagi.
Matahari sudah melewati kepalaku, udara sekitar kurasa panas, rumput dan tanaman liar di sekeliling rumah Abu ada yang sudah menguning karena terbakar matahari, banyak lainnya yang sudah mati. Di bawah lantai rumah Abu tanahnya kuning, jarak antara lantai rumah induk dan tanah mencapai 1,5 meter lebih dan tak ada sehelai daunpun kulihat disana, apalagi sampah lainnya.
Plat seng seukuran 20×20 meter ditempel di sisi kanan tangga, di plat tersebut tertulis No.11 sebagai tanda nomor rumah dan terletak di lingkungan adat, Gampong Siem, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar.
Kini rumah almarhum ulama besar Aceh yang sudah mencapai taraf Ma’rifatullah itu seperti luput dari perhatian, dari tanda-tanda di luar rumah yang teramati juga ada meteran PLN masih aktif. Dari keterangan, rumah itu kini dihuni oleh garis keturunan keluarga Abu.
Masih dalam halaman rumah Abu, di sebelah timur laut satu bangunan lapuk ukuran 2×2,5 meter berdiri disana, kertas dan barang bekas   penuh debu tertumpuk sembarangan. Dari penglihatanku di sekeliling rumah Abu, jelas halamannya kini tidak terawat dengan baik dan terkesan seperti tidak berpenghuni lagi.
Rumah yang pernah ditinggali oleh ulama besar Aceh itu hanya berjarak lebih kurang 100 meter dari Dayah Darul Ihsan generasi kedua, sebelumnya dayah tersebut sempat terhenti setelah Abu Krueng Kalee wafat, kini dayah tersebut kembali diaktifkan oleh keluarga Tgk Muhammad Hasan Krueng Kalee.
Sekitar dua puluh menit aku disana tanpa ditemani seorangpun, setelahnya aku kembali pulang dan berharap rumah ulama besar Aceh tersebut dapat dipugar kembali agar generasi dapat menyaksikan nilai dan bukti sejarah yang masih ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar