Acheh, yang sejak
tahun 1500, sudah berdiri sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
Dalam sejarahnya yang panjang itu, Acheh telah mengukir masa lampaunya dengan
begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya sebagai pembina
peradaban bangsa-bangsa di kawasan Dunia Melayu; pola dan sistem pendidikan
militer yang mampu memompa semangat heroisme dan patriotisme tidak terkecuali
kaum wanitanya; komitmennya dalam menentang setiap bentuk dan kaedah kolonialisme-imperialisme,
kapitalisme; sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik; mewujudkan
pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan tentang ilmu duniawi dan ukhrawi;
kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain, hingga
kemudian disadari oleh ahli sejarah dunia bahwa apa yang telah diperankan oleh
bangsa Acheh dapat diteladani oleh bangsa dan negara manapun di dunia ini.
Memang benar, sejak tahun 1411, Acheh telah membina
hubungan dagang dengan negeri Cina semasa dynasti Ming. Untuk melihat adanya
bukti kukuh mengenai hubungan kedua negara, dapat disaksikan lonceng “TJAKRA
DONYA” sebagai cenderamata dari Cina, yang kini ditempatkan depan pintu gerbang
museum di Bandar Acheh.
Sebelum terjadi hubungan diplomatik antara Cina dengan
Acheh, pernah terjadi peperangan antara kedua negara. Pada waktu itu pasukan
tentara Laut Cina dipimpin oleh seorang Wanita muda bernama Nio Nian Lingké,
atau yang lebih dikenali sebagai Putroe Nèng. Nio Nian Lingkè, yang juga
dikenal sebagai seorang ahli sihir ini pada awalnya berhasil menguasai beberapa
Mukim di Acheh, akan tetapi kemudian pasukannya dikalahkan oleh tentara Acheh
yang dipimpin oleh panglima perang Johansyah. Difahamkan bahwa Putroe Néng ini
akhimya masuk Islam dan menikah dengan Johansyah. Peristiwa ini berlaku pada
tahun 1400-an.
Kejayaan Acheh mencapai puncaknya pada abad ke-16-17.
Untuk melihat bagaimana kemegahan itu, patut disimak ucapan Prof. Wilfred
Cantwell Smith, dalam bukunya: Islam in Modem History, 1975, p.38, berkata:
‘Pada abad ke-16,‘Dunia Islam sudah menjadi berkuasa kembali, kaya raya, mewah
dan penuh kebesaran. Orang-orang Islam pada masa itu di Maroko, Istanbul,
Isfahan, Agra dan Acheh – adalah pembina-pembina sejarah yang besar dan sangat
berhasil”.
Ucapan Wilfred sangat beralasan sekali, sebab Acheh
dalam sejarahnya telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis (yang ketika
itu merupakan negara terkuat di dunia) dari Selat Melaka yang ingin menjarah ke
seluruh kepulauan Melayu. Kejadian ini dilukiskan dalam LA GRAND ENCYCLOPEDIE
bahwa: “Pada tahun 1582, bangsa Acheh sudah meluaskan kekuasaannya atas
pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa, Borneo dan lain-lain), atas sebagian dari
Tanah Semenanjung Melayu, danbmempunyai hubungan dengan segala bangsa yang
melayari Lautan Hindia, dari Jepang sampai ke Arab. Sejarah peperangan yang
lama sekali dilancarkan oleh bangsa Acheh terhadap bangsa Portugis yang
menduduki Melaka sejak permulaan abad 16, adalah halaman-halaman yang tidak
kurang kemegahan dan kebesarannya dalam sejarah bangsa Acheh. Pada tahun 1586,
seorang Sultan Acheh menyerang Portugis di Melaka dengan sebuah Armada yang
terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut.”
Serangan ini adalah dalam upaya membela maruah,
mempertahankan kedudukan dan wibawa bangsa-bangsa Melayu baik di Sumatera
maupun di Semenanjung. Diketahui bahwa antara tahun 1547,1568,1579,1586 dan
1629 adalah merupakan masa-masa yang sangat kritikal dalam usaha menentukan
siapa pemenang dalam perang panjang dan meletihkan itu. Panglima perang
Portugis, Diego Lopez de Fonesco, telah berhasil dibunuh oleh pasukan elite
tentara Acheh. Benteng pertahanan Portugis, Gereja Sint John, yang oleh Melayu
lebih dikenali sebagai Sang Yoang dan Gereja Madre de Dios, telah sepenuhnya
dikuasai. Benteng pertahanan terakhir ialah Gereja Sint Paul Hill, atau lebih
tenar dengan sebutan “Formosa” (yang menang). Dalam benteng ini Portugis
terkurung dan bertahan. Kota Melaka selama 5 bulan sudah berada dalam genggaman
tentara Acheh. Bagaimanapun ketika itu Portugis berhasil mengirim kurirnya
untuk meminta bantuan dari Sultan Pahang. Akhimya tentara Pahang berkomplot
dengan Portugis menyerang tentara Acheh me1alui laut. Kapal-kapal perang Acheh
di pantai dibakar oleh tentara Pahang-Portugis, hingga peperangan ini terjadi
satu lawan satu.
Untuk dimaklumi bahwa: “sekutu yang amat diandalkan
Portugis pada waktu itu ialah Sultan Pahang. Pahang yang dahulu pernah diserang
dan ditakluki oleh Acheh, tidak merasa senang jika Acheh menguasai tanah
Melayu. Portugis bagi Pahang adalah sandaran kuat, sebagaimana Belanda jadi
saudara Johor, dan sewaktu-waktu Pahang dan Johor pernah diperintah oleh satu
Sultan”. Prof. Dr. Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, 1981, hlm 177, Pustaka
Kuala Lumpur.
Tidak lama kemudian datang pula tambahan kekuatan
tentara upahan Portugis dari Johor, Jawa, Goa dan India. Kemenangan dan
kekalahan silih berganti antara dua kekuatan ini. Itulah sebabnya Portugis
menyebut Gereja Sint de Hill sebagai “Formosa”. Alkisah menceritakan bahwa,
Melaka pada akhimya takluk kepada Portugis sampai tahun 1641, sementara Acheh
Sumatera selamat dari penjajahan Portugis. Terlalu mahal harganya bangsa Acheh
membayar untuk mempertahankan maruah bangsa Melayu, khususnya di Semenanjung.
Sebab jika tulang-belulang 60.000 tentara Acheh dijadikan tiang, maka ianya
dapat memagari seluruh pantai Semenanjung tanah Melayu.
Riwayat seterusnya mengisahkan bahwa, ketika pasukan
Belanda melakukan kudeta kepada Sultan Acheh, yang dipimpin oleh Comelis de
Houtman dan Frederick de Houtman pada tahun 1599. Tentara Acheh ketika itu
dapat melumpuhkan kekuatan armada Belanda dan Sultan Alaudin Riayat Shah
(1588-1604) yang berkuasa ketika itu, telah menjatuhkan hukuman bunuh kepada
Comelis de Houtman yang dieksekusi langsung oleh Laksamana Malahayati dengan rencongnya sendiri, sementara
saudaranya, Frederick de Houtman ditawan beserta dengan seluruh anak buahnya
sebagai tahanan perang, yang masing-masing dijatuhi hukuman selama sepuluh
tahun. Baca “Oede Glorie”, karangan Marie C. Van Zegelen.
Kejadian ini dilaporkan Sultan Acheh kepada Kerajaan
Belanda. Sehubungan dengan peristiwa itu Kerajaan Belanda telah mengirim surat
permintaan ma’af secara resmi. Dalam kasus ini, Sultan Acheh telah berlaku arif
dan bijaksana dengan membebaskan dan semua tahanan pulang dan diserahkan oleh
Tengku Abdul Hamid, Duta besar Acheh di negeri Belanda.
Selain daripada itu, dalam sejarahnya Acheh memberi
kebenaran kepada kapal-kapal dagang dan perang Perancis yang dipimpin oleh
Panglima perang Beaulieu, untuk menggunakan Pelabuhan Acheh sebagai pangkalan
untuk memperbaiki kapal-kapal yang rusak.
Dalam lapangan diplomatik dan perdagangan, Acheh juga
telah mencatat sejarah yang sangat penting, sebab Sultan Alaudin Riayat Shah
(1588-1604) menyadari akan arti pentingnya kedudukan dan peranan Selat Melaka
sebagai satu-satunya lintasan dagang yang paling ramai di dunia. Maka Kerajaan
Acheh telah membuat perjanjian mengenai: Jaminan Keamanan, Cukai dan Peraturan
Lalu Lintas Dagang di Selat Melaka, dengan Kerajaan Inggeris, pada tahun 1603.
Perjanjian tersebut telah diperbaharui kembali tahun 1819, atas pertimbangan
politik dan ekonomi pada kurun masa itu yang lebih menekankan kepada pertahanan
keamanan di Selat Melaka. Ini suatu petunjuk bahwa Kerajaan Acheh mempunyai
pengaruh dan peranan dalam menentukan strategi ekonomi dan militer di Selat
Melaka, sebab diketahui bahwa Sumatera sebenarnya sangat mahal nilainya
berbanding pulau-pulau lain di kawasan Dunia Melayu. Untuk melihat bagaimana
kuasa Acheh pada masa itu terbukti bahwa ketika Belanda ingin membuka
Konsulatnya di Padang Minangkabau, Belanda mesti meminta izin dari Sultan
Acheh.
Seperti telah ditulis oleh seorang ahli sejarah
Perancis bahwa: “Pada abad ke 17, Sultan Achehlah yang berdaulat atas seluruh
pulau Sumatera dan tidak ada sanggahan atas kenyataan itu dari pihak manapun
juga. Acheh tidak memerintah langsung seluruh Sumatera tetapi yang diperintah
langsung ialah tepi pantainya dan perdagangannya. Menurut Beaulieu, Acheh
memerintah langsung separuh pulau Sumatera dan yang terkaya yang lain di bawah
kerajaan-kerajaan yang dilindungi Acheh. Dan di Semenanjung Tanah Melayu
kerajaan dibawah lindungan Acheh ialah Kedah, Pahang dan Perak”. Denys Lombard,
Le Sultanat d‘Atjèh au Temp d’Iskandar Muda, p.98.
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan Ilmu Agama,
Acheh telah melahirkan beberapa Ulama ternama, yang karangan mereka menjadi
rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti:
Hamzah Pansuri (1575-1625) dalam bukunya “TABYAN
FI-MARIFATI AL-U ADYAN”,
Syamsuddin al Sumatrani (1630) dalam bukunya “MI’RAJ
al-MUHAKIKIN AL-IMAN=
Nuruddin Arraniry (1658) dalam bukunya “SIRAT
AL-MUSTAQIM- BURTANUS AL-SALATIN”;
Syeh Abdul Rauf Singkili (1693) dalam bukunya “MI’RAJ
AL TULABB FI FASHIL”,
“MA’RIFAT AL-AHKAM ‘ASH-SHAYYAH LI MALI AL WAHAB” DAN
“UMDAT AL MUHTAJlM’“’
Pada masa itu bangsa-bangsa di kawasan dunia Melayu
telah memakai perundangan Acheh -Qanun Al Asyi- di Brunei Darussalam dan di
Kerajaan Melayu Borneo. Antara Acheh dengan bangsa Melayu yang lain saling
mempunyai ikatan kultural, agama dan adat-istiadat. Kerukunan antara sesama
serumpun begitu mesra dan harmoni, khususnya antara Acheh dengan Semenanjung
Malaysia, apalagi: “setelah dinobatkannya Iskandar Sani (Putra Raja Pahang yang
diambil menantu oleh Iskandar Muda) menjadi Sultan Acheh sesudah mangkat
Iskandar Muda (1636) membuatnya menjadi simbol yang hidup dari kerukunan antara
Acheh dengan Semenanjung Tanah Melayu yang sangat menguatkan silaturrahim
antara Acheh dengan Raja-raja Tanah Melayu. Pada tahun 1638/1639, menurut Kitab
Bustanus-Salatin, Iskandar Sani mengirim Armada besar bukan untuk berperang
tetapi untuk membawa batu-batu nisan dari pualam berukir yang dibuat di Acheh
untuk menghiasi makam-makam/kuburan Ayahanda/ibunda dan keluarga di Pahang.
Perintah Sultan Iskandar Sani kepada armada Acheh: ‘Pergilah ke Pahang dan
hiasilah makam Ayahanda/ibunda kami dan
kerabat dengan batu-batu nisan itu diangkut dengan
arakan-arakan megah sepanjang jalan, diiringi oleh pasukan musik di bawah
ratusan payung dan kibaran bendera Acheh. Perarakan itu memakan masa berbulan
dalam perjalanan.
Selama masa Iskandar Sani, hubungan Acheh dengan
Semenanjung Tanah Melayu amat harmonis sekali dan tidak pernah dikirim tentara
dan armada untuk mengamankannya. Hubungan baik antara Tanah Melayu dengan Acheh
yang dijalin semasa Iskandar Sani kekal beberapa abad lamanya” Denys Lombard.
Le Sultanat d’Atjèh au Temp d’Iskandar Muda p.94.
Sebagai suatu bangsa dan negara yang berdaulat, Acheh
selalu dipandang oleh bangsa asing khususnya Inggeris dan Belanda yang
mempunyai kepentingan politik dan ekonomi di Sumatera- tetap memelihara
hubungan baik dengan kerajaan Acheh. Hal ini ditandai dari isi Traktat London,
tahun 1824 yang antara lain menyebut : Belanda dan Inggeris tetap tidak akan
mengganggu gugat kedudukan Acheh di Sumatera dan hubungan baik selama ini
terbina tetap dikekalkan.
Akan tetapi formula traktat London, 1824, dimana
Belanda mengambil alih kuasa Inggeris di Sumatera (Bengkulu), Belanda agaknya
merasa tersekat dengan peranan dan kedudukan Acheh yang kuat di Sumatera. Sejak
itulah Belanda sudah mulai menunjukkan sikap tidak jujur kepada kerajaan Acheh.
Sesudah Belanda membuat perjanjian dengan Sultan Siak,
tahun 1858, keadaan sudah mulai tegang, sebab dengan ditanda tanganinya
perjanjian ini, maka Sultan Deli dan seluruh sultan-sultan di pesisir Timur dan
Utara Sumatera tunduk kepada Belanda. Karena itu Sultan Acheh menjawabnya
dengan mengirimkan kapal-kapal perang untuk mengadakan ronda di perairan Selat
Melaka untuk memberi isyarat supaya Belanda jangan bersikap kurang ajar di
Sumatera. Keadaan politik semakin bertambah tegang setelah Belanda mengadakan
perjanjian dengan Sultan Deli tahun 1858, tanpa sepengetahuan Kerajaan Acheh.
Dalam perjanjian tersebut antara lain disebut bahwa Sultan Deli mesti
memutuskan hubungan politik dengan Kerajaan Acheh dan hasil bumi Deli hanya
dapat diperjual belikan antara Sultan Deli dengan Belanda.
Pada tahun 1870, Pemerintah Hindia Belanda yang
berpusat di Jawa, sudah membuat rencana untuk melakukan serangan kepada
kesultanan Acheh, akan tetapi ramai penasehat militer dan sipil Belanda
melarang, kalau bisa jangan! Sebab Acheh adalah bangsa yang berani berperang.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda sendiri -Loudon-pada awalnya berkata: “Wilayah
kekuasaan kita di Hindia Timur sudah begitu luas sekali dan sekarang susah
untuk diawasi. Memperluas wilayah kekuasaan, sama artinya dengan menambah
runyam dan dapat menghancur masa depan kita di wilayah Hindia Timur”. Bahkan
Multatuli sempat mengirim surat kepada Raja Belanda, katanya: “Gubernur-Jenderal
dan Paduka yang Maha mulia sudah siap sedia, pada saat ini, untuk menyatakan
perang kepada Sultan Acheh, dengan alasan pura-pura yang dicari-cari dan
diada-adakan, paling banyak atas dasar yang tidak benar yang dikarang-karang,
sebagai ‘provokasi’ semata-mata. Pernyataan perang atas kerajaan Acheh itu
dengan niat untuk merampas kedaulatan dari Sultan Acheh dan merampok segala
harta pusakanya. Paduka Yang Mulia, ini adalah perbuatan yang tidak membalas
budi, yang tidak bersifat mulia, yang tidak mempunyai kehormatan, dan yang
tidak patut” October, 1872 (Paul Van ‘t Veer, Atjéh Oorlog, p 39.
Untuk melicinkan niatnya, Belanda mengajak Inggeris
untuk menanda tangani suatu perjanjian dengan Inggeris yang isinya: bekas
jajahan Belanda di Afrika (Gold Coast -sekarang Ghana) diserah kepada Inggeris
dan jajahan Inggeris di Sumatera diserah kepada Belanda. Untuk mengusasi
seluruh Sumatera jika perlu Belanda akan, memerangi Acheh. Perjanjian ini
ditanda tangani tahun 1871. Ketika itu seorang anggota Parlemen Inggeris Lord
Standley Aderley, seorang bangsawan Inggeris telah membantah dan menolak isi
perjanjian itu. Katanya: “Belanda tidak mempunyai alasan dan tidak mempunyai
sebab untuk menyerang Acheh yang tidak berbuat apa-apa kepada Belanda. Sekarang
Belanda sudah menyerang Negara Acheh, dan digagalkan. Kejatuhan Acheh akan
menyebabkan kehancuran kemuliaan kita di seluruh Asia Timur dan Asia Tenggara;
kekecewaan besar akan dirasa oleh warga Inggeris di Asia Tenggara dan oleh
orang-orang Melayu di Malaysia yang kesan baik dari mereka adalah sangat
penting bagi kita. Perjanjian baru antara Inggeris dengan Belanda ini bukan
saja merusakkan kemuliaan Negara Inggeris tetapi juga merusakkan kepentingan
ekonomi kita. Sistem pemerintahan Belanda di Jawa bukan saja berlawanan sekali
dengan kebebasan perdagangan, tetapi hampir tidak berbeda dari perbudakan
-Belanda menamakannya “kerja tidak bergaji’- sehingga tidak ada alasan sama
sekali mengapa pemerintah Inggeris mau menolong meluaskan sistem ini sampai ke
Sumatera Utara, atau sekurang-kurangnya mengapa tidak dibuat pengecualian untuk
Acheh, sebab Negara Acheh berhak mengharap kita tidak melupakan kemerdekaannya
yang dari zaman purbalaka, dan sejarah yang gilang-gemilang, sebab Acheh sudah
menjadi suatu Negara merdeka ketika Belanda sendiri masih menjadi satu provinsi
Spanyol”
Bantahan terhadap perjanjian ini terus dilancarkan
oleh beberapa anggota Parlemen Inggeris baik sebelum dan sesudah meletusnya
perang antara Acheh melawan Belanda, seperti: Thomas Gibson Bowles telah
menjawab dalam Surat kabar LONDON TIMES, 3 Februari, 1874. Katanya: “Perjanjian
Belanda-Inggeris tahun 1871 sama sekali tidak dapat membebaskan Pemerintah
Inggeris dari kewajibannya menepati janji untuk mempertahankan Acheh menurut
Perjanjian Pertahanan tahun 1819. Maka adalah suatu pelanggaran umum yang luar
biasa dan hina sekali untuk menolak menepati kewajiban yang timbul dari
Perjanjian yang sudah ditanda tangani itu” (THE TIMES, London, 3 Februari,
1874, p.10)
Selanjutnya Surat kabar VANITY FAIR, 12 September,
1874, telah mengeluarkan tajuk rencana mengenai Perjanjian Pertahanan
Acheh-Inggeris yang sudah dikhianati itu: “Dikatakan bahwa Inggeris adalah
neutral dalam perang ini, tetapi Belanda dibiarkan menggunakan wilayah jajahan
kita di sini sebagai basis operasi menyerang Acheh. Jadi Inggeris bukan saja
tidak membantu Acheh, sebagai kewajibannya menurut perjanjian, tetapi ia
memberikan kepada Belanda segala bantuan untuk menaklukan Acheh. Sudah pasti
ini adalah puncak dari pengkhianatan. Dan Perdana Menteri baru, Tuan Disraeli,
sesudah menyela Perdana Menteri yang lama, Tuan Gladstone, dalam perkara ini,
sekarang dia sendiri berbuat demikian: membantu Belanda menundukkan Acheh.
Walaupun demikian masih banyak orang menyangka bahwa dalam demokrasi semua
dapat diperbaiki dan diubah dengan menggantikan satu Kabinet dengan Kabinet
baru, partai Pemerintah dengan Oposisi. Suatu bangsa sudah menjadi rendah
sekali apabila ia tidak perduli lagi kepada kehormatannya dan kepada perkara-perkara
seperti ini.
“Perkara kenyataan dalam soal ini tidak mungkin ada
perdebatan: sebab semuanya adalah terang-benderang. Inggeris terikat dengan
Perjanjian Pertahanan untuk mempertahankan Acheh. Mula-mula Lord Granville
berusaha menolak perjanjian itu. Lord Debry, yang seharusnya memperbaiki nama
negerinya dan bangsanya tetapi berbuat sebagai orang-orang yang digantinya.
Mereka adalah pantas menjadi Menteri-menteri dari suatu bangsa yang sudah
hilang perasaan kehormatannya”.
Belanda beranggapan bahwa bangsa Acheh mempunyai
mentalitas yang sama dengan bangsa-bangsa lain di dunia Melayu, dan tetap akan
memerangi Acheh, sebab satu-satunya bangsa di Sumatera yang tidak pemah menjadi
bahagian dari Nederland East Indie kini mesti ditakluki. Maka pada 26 Maret, 1873,
Gubernur Hindia Belanda yang berpusat di Jawa, menyatakan Perang kepada Sultan
Mahmud Shah yang dilengkapi dengan “Ultimatum” yang berisi:
Acheh menyerah kalah dengan tanpa syarat;
Turunkan Bendera negara Acheh dan kibarkan benderra
Belanda warna merah, putih biru;
Hentikan perbuatan melanun di Selat Melaka;
Serahkan kepada Belanda sebahgian Sumatera yang berada
dalam lindungan Sultan Acheh;
Putuskan hubungan diplomatik dengan Khalifah Osmaniyah
di Turki.
“Ultimatum” yang dihantar oleh Sumo Widigdjo -manusia
Jawa sontoloyo- ini ditolak mentah-mentah oleh Sultan Acheh, maka terjadilah
perang melawan Belanda pada 4 April 1873.
Bagaimana peperangan itu terjadi, sudahpun ditulis
oleh LONDON TIMES, pada 22 April 1873 sebagai berikut: “Suatu kejadian yang luar
biasa dalam sejarah penjajahan baru sudah terjadi di kepulauan Melayu, Suatu
kekuatan Eropa yang besar sudah dikalahkan oleh tentara anak negeri, tentara
Negara Acheh. Bangsa Acheh sudah mencapai kemenangan yang menentukan. Musuh
mereka bukan saja sudah kalah tetapi dipaksa lari”
Surat Kabar THE NEW YORK TIMES, 6 Mei, 1873 menulis:
“Suatu pertempuran berhunur darah sudah terjadi di Acheh. Serangan Belanda
sudah ditangkis dengan penyembelihan besar-besaran terhadap tentara Belanda.
Panglima Belanda sudah dibunuh dan tentaranya lari lintang-pukang. Kekalahan
Belanda itu dianggap hebat sekali dan ini terbukti dengan terjadinya debat yang
hebat dalam Parlemen Belanda di Den Haag, dimana seorang anggota Parlemen sudah
menyatakan bahwa kekalahan di Acheh ini adalah permulaan dari kejatuhan
kekuasaan Belanda di Dunia Timur”
Dari rangkaian peristiwa inilah sehingga New York
Times, 15 Mei 1873 menulis bahwa: “Now the Achehnese aducation of the present
generation of Christendom may be said to have fairly begun”
Sudah tentu ulasan New York Times, didasarkan kepada
fakta sejarah yang dilengkapi dengan bukti-bukti kukuh. Walaupun ulasan
tersebut dalam rangka menyambut kemenangan tentara Acheh melawan serdadu
Belanda dalam perang Acheh, pada 4 April 1873, namun jauh sebelum itu Acheh
memang sudah dikenal mahir berperang, terutama dalam kurun waktu abad ke-16-17.
Kemudian pada 24 Desember, 1873, Belanda kembali
menyerang dengan mengerahkan serdadu upahannya dari jawa, Madura, Sunda dan
MaIuku, serta menyewa ribuan penjahat dari Penjara Swiss, Perancis dan termasuk
penjahat dari Afrika untuk dikerah untuk mempertaruhkan nyawa mereka di Acheh.
Setelah terjadinya perang priode ke II ini, maka
perang melawan Belanda tidak berhenti sampai kemudian Belanda melarikan diri
dari Acheh tahun 1942. Belanda keok di Acheh!
Peperangan yang panjang dan melelahkan ini telah
mengorbankan ratusan ribu nyawa manusia dari kedua belah pihak. Demikian juga
dengan dana perang yang sangat besar dikeluarkan oleh Belanda, sehingga
menyebabkan semua perusahaan-perusahaan sebagai sumber ekonomi Belanda terpaksa
gulung tikar sebagai konsekuensi logis dari perang yang dahsyat dan paling lama
dalam sejarah kedua negara.
Bagi Belanda segalanya sudah serba tidak menjadi.
Seorang penulis sejarah Belanda mengatakan: “Bangsa Belanda dan negeri Belanda
tidak pernah menghadapi satu peperangan yang lebih besar daripada peperangan
dengan Acheh. Menurut kurun waktunya, perang ini dapat dinamakan perang delapan
puluh tahun. Menurut korbannya -1ebih seratus ribu orang yang mati- perang ini
adalah suatu kejadian militer yang tidak ada bandingannya dalam sejarah bangsa
Belanda. Untuk negeri dan bangsa Belanda, perang Acheh itu lebih daripada hanya
pertikaian militer: selama satu abad inilah persoalan pokok politik internasional,
politik nasional, dan politik kolonial
Belanda” Paul Van ’ t Veer, De Acheh Oorlog, Amsterdam, 1969, p. 10.
Bangsa Acheh tidak dapat dikalahkan Belanda dengan
pendekatan militeristik, sebab bangsa Acheh memandang perang melawan Belanda
sebagai perang suci – jihad fisabilillah – yang bermakna orang Acheh akan
berlomba-lomba untuk mati syahid menggempur musuh yang diransang dengan aqidah
Islam yang sudah masuk ke dalam tulang sumsumnya. Itulah sebabnya perang ini
telah melibatkan semua lapisan masyarakat, tidak terkecuali kaum wanitanya.
Para Ulama telah menghembuskan roh jihad dalam perang ini. Tengku Thjik di Tiro
Muhammad Saman telah memimpin peperangan ini dan diikuit oleh bangsa Acheh
serta famili di Tiro yang lain sampai kepada Tengku Tjhik Maat di Tiro yang
mati syahid dalam satu peperangan di Alue Bhôt, Pidië, tahun 1911.
Perang terus merebak ke seluruh Acheh. Tengku Mata Ië
bersama pasukannya berjuang di sektor Acheh Besar; Tengku Tapa bersama
pasukannya berjuang di sektor Timur; Tengku Paja di Bakông bersama pasukannya
berjuang di sektor Utara; Tjut Ah dan Tengku di Barat bersama pasukannya
berjuang di sektor Barat-selatan; Pang Jacob, Pang Bedel dan Pang Masém
berjuang di sektor Tengah; Panglima Tjhik bersama pasukannya berjuang di sektor
Tenggara. Akhimya, pada tahun 1942 Belanda angkat kaki dari bumi Acheh dalam
keadaan hina. Semestinya Acheh sudah merdeka. Akan tetapi bangsa Acheh sekali
lagi hams berhadapan melawan penjajah Jepang. Pada tahun 1945, giliran Jepang
pula angkat kaki dari bumi Acheh. Jadi Acheh otomatis sudah merdeka, apalagi
Belanda, tidak pernah berani lagi masuk ke Acheh pada ketika itu walaupun
seluruh wilayah Nederland East Indie” telah dikuasai kembali pada tahun
1946-1948. Keadaan di Acheh persis seperti dikatakan oleh seorang penulis
Belanda. “sedudah tahun 1945 pemerintah Belanda tidak kembali lagi ke Acheh,
pada ketika aksi-aksi militer tahun 1946-1947, ketika bagian-bagian besar
Sumatera diduduki tidak dilakukan upaya untuk menembus sampai ke Acheh. Di
bagian satu-satunya dari Indonesia inilah antara tahun 1945 dan 1950 merdeka
sudah menjadi kenyataan. Paul Van ‘t Veer. Perang Acheh, hal. 254.
Bahkan secara jujur dikatakan bahwa: “Acheh bukan
Jawa. Sebenarnya sudah terang-benderang bahwa dalam bagian dunia yang secara umum
dan tidak berketentuan disebut Hindia Belanda (“Indonesia”) tidak ada suatu
kerajaan yang dapat dibandingkan dengan Acheh. Ini kita tahu sekarang ini.
Suatu peperangan yang lamanya lebih dari setengah abad, seratus ribu orang
mati, dan setengah milyar Belanda abad ke 19 yang mahal itu sudah menjadi bukti
dari hal ini. Kita sudah tahu sekarang, tetapi kita tidak tahu itu di tahun
1873. Biarlah kenyataan-kenyataan ini tegak berdiri -jangan disembunyikan-
supaya orang-orang di negeri Belanda, atau lebih-lebih lagi di Jawa dapat
mengetahui, manusia yang bagaimana bangssa Acheh itu” (Paul Van ‘t Veer, De
Atjeh Oorlog, p.76.
Dengan tidak disangka-sangka, terjadilah penyerahan
kekuasaan dan kedaulatan dari Belanda kepada pemerintahan bonekanya -regime
Indonesia”-Jawa pada 27 Desember, 1949. Dalam penyerahan itu dimasukkan juga
Acheh menjadi salah satu bahgian dari “Indonesia”. Padahal Acheh dalam
sejarahnya tidak pernah menjadi bahgian dari “Nederland East Indie” dan Belanda
sendiri sudah 7 tahun angkat kaki dari bumi Acheh. Penyerahan ini adalah
perbuatan melawan hukum -illegal- dan bertentangan dengan Hukum Intemasional
dan Resolusi PBB. Mengapa Belanda yang tidak mempunyai hak apapun terhadap
Acheh, berani menyerahkan kepada “Indonesia”-Jawa?. Inilah sebenamya akar
konflik dan alasan sejarah yang menyebabkan bangsa Acheh tetap memperjuangkan
kemerdekaannya.
Selain daripada itu, Kesultanan Melayu Daik Lingga dan
sultan-sultan lain yang berpusat di Riau, mempunyai sejarah yang juga
mengagumkan. Sebab jika berbicara tentang akar Bahasa dan peradaban Melayu,
maka kita tidak terlepas dari membicarakan bangsa Melayu di Riau: Dari sinilah
cikal-bakal bahasa dan peradaban Melayu bermula.
Meskipun kemudian bumi Riau kerap bertukar penjajah
atau majikan, akan tetapi ada yang paling membanggakan yang tidak dimiliki oleh
bangsa lain, yaitu: bahasa Melayu masih tetap bertahan sebagai satu-satunya
bahasa resmi dan belum tercemar atau lapuk karena perkembangan zaman. Bangsa
Melayu Riau tidak akan mau merubah bahasa, peradaban dan agamanya meskipun
berada dalam era globalisasi informasi. Bangsa Melayu Riau bukan bangsa Mesir.
Sebab di dunia ini yang pernah merubah bahasa dan agamanya adalah Mesir. “. . .
selama 2000 tahun terakhir, Mesir telah mengubah bahasanya tiga kali dan agamanya
tiga kali dan dalam kehidupan rakyat, tidak ada yang lebih penting daripada
bahasa dan agama” Muhammad Heikal. Anwar Sadat: Kemarau Kemerahan. Hal.50
Sekarang Riau lebih mencuat lagi namanya, karena kaya
dengan hasil buminya: Kelapa Sawit, getah bermutu tinggi, penghasil gas dan
minyak mentah, pengekport Papan lapis terbesar di dunia, hingga Riau telah
dijuluki sebagai negeri petro dollar.
Begitu juga Deli, bumi yang kaya dengan hasil bumi.
Penjualan Tembakau Deli suatu masa dahulu bersaing hebat dengan negara lain di
Bremen, Jerman. Akan halnya dengan Kelapa Sawit dan Getah merupakan hasil yang
paling membanggakan dari dahulu sehingga sekarang. Dalam sejarahnya, Deli
selalu menjadi rebutan penjajah. Ini satu isyarat bahwa Deli memang mempunyai
nilai tambah di Sumatera.
Selain itu Bangka Belitung juga tidak kalah megahnya,
sebab negeri ini dalam sejarahnya, sering disinggahi oleh kapal-kapal pedagang
asing suatu masa dahulu dan kini lebih dikenal sebagai penghasil Bawang putih,
biji timah dan lain-lain.
Ranah Minang. Dalam sejarahnya, bangsa Minangkabau
sudah mulai mengamalkan pemerintahan yang bersendikan Islam sejak Sultan Alif
berkuasa. Dasar pemerintahan ketika itu diperkenal “HUKUM BERSENDIKAN SYARA’.
SYARA’ BERSENDIKAN KITABULLAH”. Yang dipertuan Agung di Ranah Minang berpusat
di Pagaruyung, yang terletak di Tanah Datar. Beratus-ratus tahun Yang Dipertuan
Agung berkuasa. Walaupun suatu masa dahulu terjadi gelombang perpindahan yang
besar dan beberapa kali dari ranah Minang ke Tanah Semenanjung, khususnya ke
Negeri Naning -Negeri Sembilan- Malaysia, namun Yang dipertuan Negeri Naning
tetap menghormati dan tunduk kepada Yang Dipertuan Agung di Pagaruyung sebagai
induk.
Kemudian terjadi pergolakan melawan penjajah asing.
Bagaimanapun, bangsa Minang dikenal gigih membela dan mempertahankan marwah
bangsa dan negaranya. Hal ini ditandai dengan peperangan melawan Belanda pada
tahun 18 17-l 837. Ketika Belanda menyerang kota Padang tahun 18 17, Bangsa
Minangkabau tidak mudah menyerah, walaupun kekuatan musuh pada ketika itu sulit
dilawan.
Perang melawan Belanda baru berhenti setelah seluruh
bumi Minang ditawan oleh Belanda dan perlawanan baru tamat setelah berakhir
perang Padri tahun 1837, yang melibatkan kaum Ulama dan rakyat bersama-sama melawan
penjajah. Akan tetapi setelah pepmimpin perangnya -Imam Bonjol- dikhianati,
ditangkap dan ditawan dan diasingkan oleh Belanda ke Sulawesi, maka perlawanan
bangsa Minangpun terhenti. Dengan begitu, sejak tahun 1838, Belanda sudah mulai
mendirikan sekolahnya dan melakukan ‘brain washing’ terhadap bangsa
Minangkabau.
Di sini, ada hal yang istimewa yang tidak dimiliki
oleh bangsa lain di kawasan Dunia Melayu. Bangsa Minang dikenal sebagai suatu
bangsa yang paling unik tatanan masyarakatnya dalam rumpun bangsa Melayu, sebab
sistem kekeluargaan yang mereka amalkan berdasarkan sistem “Matrilinial”
(dimana kaum wanita lebih tinggi dan dimuliakan status sosialnya berbanding
kaum lelaki). Sistem kekeluargaan seperti ini kemungkinan besar dipercayai
berasal dari Kombodia yang merupakan asal-usul dari kehidupan Melayu tua yang
berpindah ke Sumatera. Salah satu Suku yang hidup di Kambodia memang menerapkan
sistem kekeluargaan Matrilinial dalam masyarakatnya. Diketahui juga bahwa salah
satu bangsa yang paling setia memelihara adat-istiadat adalah bangsa
Minangkabau. Bahkan menurut Zent Graaff, seorang penulis Belanda menyifatkan
bahwa “Minangkabau adalah bangsa yang paling kental rasa ke-Sumateraan-nya”.
Ranah Minang sangat kaya dengan hasil bumi seperti Batubara, balak, pupuk dll.
Demikian pula Palembang dan Lampung. Di sinilah pusat
kerajaan Sriwijaya yang sangat megah dan masyhur itu. Dalam sejarahnya yang
panjang itu, Palembang telah mengalami pasang-surut dalam percaturan politik nasional dan Internasional. Dibayangi oleh
kemegahan keberanian, bangsa Palembang telah bertanmg melawan penjajah Belanda
yang menyerang pada tahun 1821. Diketahui bahwa serdadu Belanda pada awalnya
mengalami kekalahan besar di Palembang, mereka ramai yang mati terjerat dalam
rawa-rawa. Namun pada akhirnya perang melawan Belanda perlahan-lahan redup dan
terhempas dalam pelukan penjajah.
Persoalannya sekarang. Mengapa penjajah Belanda begitu
bernafsu terhadap Sumatera? Sehingga mereka berani mempertahukan
segala-galanya? Jawabnya sudah tentu: “Saya tahu harganya Sumatera, dengan luas
wilayahnya yang tak terhingga, yang membolehkan perluasan perusahaan-perusahaan
kita dengan tiada batas sambil memperkuat kedudukan kita di daerah-daerah yang
sudah kita kuasai untuk memeras kekayaannya secara yang lebih menguntungkan
kita lagi. “Jawa tenggelam dengan tidak berarti sama sekali jika dibanding
dengan Sumatera, atau hal itu sebenarnya sudah terjadi sekarang juga…”
Multatuli, 27 Februari, 1872.
INILAH HARGA SUMATERA. Akan tetapi seperti sudah
dikatakan bahwa: harga SUMATERA bukan harga material semata-mata. “Harga
Sumatera bukanlah ditentukan oleh berapa harga dari hasil kekayaan Sumatera,
akan tetapi berapa harga yang berani kita bayar untuk membela dan
mempertahankannya.”
Jadi, jika berbicara tentang Sumatera, maka kita tidak
dapat mengetepikan dua faktor penting yaitu: faktor konstan dan faktor variable
yang langsung berhubung kait dengan, keperluan dan kepentingan bangsa-bangsa
Sumatera.
Pertama, faktor konstan dalam kehidupan bangsa-bangsa
Sumatera, yaitu: Bumi Sumatera dan Selat Melaka yang paling penting maknanya.
Selat Melaka merupakan poros perdagangan penting yang menuntut perlu adanya
kekuatan pertahanan keamanan dari ancaman musuh. Sumatera dan Selat Melaka
selalu dipandang strategik dalam konteks politik, ekonomi dan pertahanan, lebih
daripada itu ialah untuk menjaga kepentingan nasional
bangsa-bangsa Sumatera dan di Semenanjung, sehingga pada akhirnya menjadi suatu
dunia yang selamat dan harmoni.
Faktor variable dalam kehidupan bangsa-bangsa Sumatera
ialah: semua konsep yang datang dari luar, seperti:.* “cultural imperialism”,
capitalism”, colonialism”, “salvation”, “paganism”, “democratic way of life“,
“Christian” dan “Javanism” yang telah mempengaruhi dan mengancam nilai-nilai
peradaban kultural dan keagamaan bangsa-bangsa Sumatera. Secara mendetil
perkara ini akan dibahas dalam satu bab tersendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar