Senin, 02 September 2013

KERAJAAN SAMUDERA PASE


1. Sejarah

1. SEJARAH

Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh, dan merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu pada tahun 1267 M. Bukti-bukti arkeologis keberadaan kerajaan ini adalah ditemukannya makam raja-raja Pasai di kampung Geudong, Aceh Utara. Makam ini terletak di dekat reruntuhan bangunan pusat kerajaan Samudera di desa Beuringin, kecamatan Samudera, sekitar 17 km sebelah timur Lhokseumawe. Di antara makam raja-raja tersebut, terdapat nama Sultan Malik al-Saleh, Raja Pasai pertama. Malik al-Saleh adalah nama baru Meurah Silu setelah ia masuk Islam, dan merupakan sultan Islam pertama di Indonesia. Berkuasa lebih kurang 29 tahun (1297-1326 M). Kerajaan Samudera Pasai merupakan gabungan dari Kerajaan Pase dan Peurlak, dengan raja pertama Malik al-Saleh.

Seorang pengembara Muslim dari Maghribi, Ibnu Bathutah sempat mengunjungi Pasai tahun 1346 M. ia juga menceritakan bahwa, ketika ia di Cina, ia melihat adanya kapal Sultan Pasai di negeri Cina. Memang, sumber-sumber Cina ada menyebutkan bahwa utusan Pasai secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan upeti. Informasi lain juga menyebutkan bahwa, Sultan Pasai mengirimkan utusan ke Quilon, India Barat pada tahun 1282 M. Ini membuktikan bahwa Pasai memiliki relasi yang cukup luas dengan kerajaan luar

Pada masa jayanya, Samudera Pasai merupakan pusat perniagaan penting di kawasan itu, dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri, seperti Cina, India, Siam, Arab dan Persia. Komoditas utama adalah lada. Sebagai bandar perdagangan yang besar, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang emas yang disebut dirham. Uang ini digunakan secara resmi di kerajaan tersebut. Di samping sebagai pusat perdagangan, Samudera Pasai juga merupakan pusat perkembangan agama Islam.

Seiring perkembangan zaman, Samudera mengalami kemunduran, hingga ditaklukkan oleh Majapahit sekitar tahun 1360 M. Pada tahun 1524 M ditaklukkan oleh kerajaan Aceh.

2. SILSILAH

1. Sultan Malikul Saleh (1267-1297 M)
2. Sultan Muhammad Malikul Zahir (1297-1326 M)
3. Sultan Mahmud Malik Az-Zahir (1326 ± 1345
4. Sultan Malik Az-Zahir (?- 1346)
5. Sultan Ahmad Malik Az-Zahir yang memerintah (ca. 1346-1383)
6. Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir yang memerintah (1383-1405)
7. Sultanah Nahrasiyah, yang memerintah (1405-1412)
8. Sultan Sallah Ad-Din yang memerintah (ca.1402-?)
9. Sultan yang kesembilan yaitu Abu Zaid Malik Az-Zahir (?-1455)
10.Sultan Mahmud Malik Az-Zahir, memerintah (ca.1455-ca. 1477)
11.Sultan Zain Al-‘Abidin, memerintah (ca.1477-ca.1500)
12.Sultan Abdullah Malik Az-Zahir, yang memerintah (ca.1501-1513)
13.Sultan Zain Al’Abidin, yang memerintah tahun 1513-1524

3. PERIODE PEMERINTAHAN

Rentang masa kekuasan Samudera Pasai berlangsung sekitar 3 abad, dari abad ke-13 hingga 16 M.

4. WILAYAH KEKUASAAN

Wilayah kekuasaan Pasai mencakup wilayah Aceh ketika itu.

5. STRUKTUR PEMERINTAHAN

Pimpinan tertinggi kerajaan berada di tangan sultan yang biasanya memerintah secara turun temurun. disamping terdapat seorang sultan sebagai pimpinan kerajaan, terdapat pula beberapa jabatan lain, seperti Menteri Besar (Perdana Menteri atau Orang Kaya Besar), seorang Bendahara, seorang Komandan Militer atau Panglima Angkatan laut yang lebih dikenal dengan gelar Laksamana, seorang Sekretaris Kerajaan, seorang Kepala Mahkamah Agama yang dinamakan Qadi, dan beberapa orang Syahbandar yang mengepalai dan mengawasi pedagang-pedagang asing di kota-kota pelabuhan yang berada di bawah pengaruh kerajaan itu. Biasanya para Syahbandar ini juga menjabat sebagai penghubung antara sultan dan pedagang-pedagang asing.

Selain itu menurut catatan M.Yunus Jamil, bahwa pejabat-pejabat Kerajaan Islam Samudera Pasai terdiri dari orang-orang alim dan bijaksana. Adapun nama-nama dan jabatan-jabatan mereka adalah sebagai berikut:
1. Seri Kaya Saiyid Ghiyasyuddin, sebagai Perdana Menteri.
2. Saiyid Ali bin Ali Al Makaarani, sebagai Syaikhul Islam.
3. Bawa Kayu Ali Hisamuddin Al Malabari, sebagai Menteri Luar Negeri

6. KEHIDUPAN POLITIK

Kerajaan Samudra Pasai yang didirikan oleh Marah Silu bergelar Sultan Malik al- Saleh, sebagai raja pertama yang memerintah tahun 1285 – 1297. Pada masa pemerintahannya, datang seorang musafir dari Venetia (Italia) tahun 1292 yang bernama Marcopolo, melalui catatan perjalanan Marcopololah maka dapat diketahui bahwa raja Samudra Pasai bergelar Sultan. Setelah Sultan Malik al-Saleh wafat, maka pemerintahannya digantikan oleh keturunannya yaitu Sultan Muhammad yang bergelar Sultan Malik al-Tahir I (1297 – 1326). Pengganti dari Sultan Muhammad adalah Sultan Ahmad yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir II (1326 – 1348). Pada masa ini pemerintahan Samudra Pasai berkembang pesat dan terus menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam di India maupun Arab. Bahkan melalui catatan kunjungan Ibnu Batutah seorang utusan dari Sultan Delhi tahun 1345 dapat diketahui Samudra Pasai merupakan pelabuhan yang penting dan istananya disusun dan diatur secara India dan patihnya bergelar Amir. Pada masa selanjutnya pemerintahan Samudra Pasai tidak banyak diketahui karena pemerintahan Sultan Zaenal Abidin yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir III kurang begitu jelas. Menurut sejarah Melayu, kerajaan Samudra Pasai diserang oleh kerajaan Siam. Dengan demikian karena tidak adanya data sejarah yang lengkap, maka runtuhnya Samudra Pasai tidak diketahui secara jelas. Dari penjelasan di atas, apakah Anda sudah paham? Kalau sudah paham simak uraian materi berikutnya.

7. KEHIDUPAN EKONOMI

Dengan letaknya yang strategis, maka Samudra Pasai berkembang sebagai kerajaan Maritim, dan bandar transito. Dengan demikian Samudra Pasai menggantikan peranan Sriwijaya di Selat Malaka.
Kerajaan Samudra Pasai memiliki hegemoni (pengaruh) atas pelabuhan-pelabuhan penting di Pidie, Perlak, dan lain-lain. Samudra Pasai berkembang pesat pada masa pemerintahan Sultan Malik al-Tahir II. Hal ini juga sesuai dengan keterangan Ibnu Batulah.
Komoditi perdagangan dari Samudra yang penting adalah lada, kapurbarus dan emas. Dan untuk kepentingan perdagangan sudah dikenal uang sebagai alat tukar yaitu uang emas yang dinamakan Deureuham (dirham).

8. KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA

Telah disebutkan di muka bahwa, Pasai merupakan kerajaan besar, pusat perdagangan dan perkembangan agama Islam. Sebagai kerajaan besar, di kerajaan ini juga berkembang suatu kehidupan yang menghasilkan karya tulis yang baik. Sekelompok minoritas kreatif berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam, untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut sebagai bahasa Jawi, dan hurufnya disebut Arab Jawi. Di antara karya tulis tersebut adalah Hikayat Raja Pasai (HRP). Bagian awal teks ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360 M. HRP menandai dimulainya perkembangan sastra Melayu klasik di bumi nusantara. Bahasa Melayu tersebut kemudian juga digunakan oleh Syaikh Abdurrauf al-Singkili untuk menuliskan buku-bukunya.

Sejalan dengan itu, juga berkembang ilmu tasawuf. Di antara buku tasawuf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah Durru al-Manzum, karya Maulana Abu Ishak. Kitab ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Makhdum Patakan, atas permintaan dari Sultan Malaka. Informasi di atas menceritakan sekelumit peran yang telah dimainkan oleh Samudera Pasai dalam posisinya sebagai pusat tamadun Islam di Asia Tenggara pada masa itu.


Sumber :Aceh Blogging - http://melayuonline.com

Ratu Nur Ilah merupakan salah satu penguasa perempuan yang terkenal dalam sejarah Kerajaan Pasai

Ratu Nur Ilah merupakan salah satu penguasa perempuan yang terkenal dalam sejarah Kerajaan Pasai. Ia mangkat pada tahun 1380 Masehi. Ia diangkat menjadi ratu setelah Pasai diserang oleh Majapahit.

Mengenai sejarah perempuan perkasa ini sudah banyak ditulis oleh para ahli sejarah, diantara Dr Hoesein Djajaninggrat, yang langsung meneliti pahatan tulisan beraksara Arab di makanya. Kemudian Dr Othman M Yatim pakar arkeologi Islam Malaysi bersama Abdul Halim Nasir.

Menurut mereka, inskripsi yang terdapat pada nisan yang bertulisan Arab menyebutkan angka tahun mangkat sang Ratu yaitu Jumat 14 Zulhijah tahun 791 Hijrah, sedangkan yang tertera pada nisan yang berhuruf Jawa Kuno terpahat tahun 781 Hijrah. Jadi, antara kedua nisan itu terdapat selisih 10 tahun.
Menurut Dr W F Stutterheim, hal itu terjadi karena kesilapan pemahat sehingga, baginya, tahun yang tertera pada nisan yang bertulisan Jawa Kuno, yang bertepatan dengan tahun 1380 Masehi tersebut, merupakan tahun mangkatnya Ratu itu. Tulisan Jawa Kuno yang terpahat pada nisan yang sebuah lagi telah diteliti oleh Stutterheim dan dimuat dalam Acta Orientalia, Leiden, tahun 1936.

Hooykaas menerjemahkan syair di nisan itu sebagai berikut : “Setelah hijrah Nabi, kekasih, yang telah wafat, tujuh ratus delapan puluh satu tahun, bulan Zulhijah , 14, hari Jumat, Ratu iman Werda rahmat Allah bagi Baginda, dari suku Barubasa [di Gujarat], mempunyai hak atas Kedah dan Pasai, menaruk di laut dan darat semesta, ya Allah, ya Tuhan semesta, taruhlah Baginda dalam swarga Tuhan.’’

Prof Dr T Ibrahim Alfian adalam tulisannya dimuat dalam buku Wanita-wanita Perkasa di Nusantara, data lain yang berkaitan dengan sang Ratu, maupun yang berhubungan dengan takluknya Kedah kepada Pasai, sampai sejauh ini belumlah ditemukan, kecuali informasi dari nisan Ratu Nurilah yang tersebut di atas.

Meskipun demikian, pertalian kebudayaan antara Pasai dan Kedah telah terjalin lama seperti yang terlihat, antara lain, dari persamaan istilah untuk menyukat hasil-hasil pertanian, misalnya padi dan beras. “Stutterheim juga menganggap penyebutan dua kerajaan itu sangat menarik karena antara Pasai dan Kedah di waktu kemudian terdapat hubungan dagang, mengingat, di Selat Malaka, letaknya berseberangan. Mungkin hubungan inilah yang masih tersisa dari kesatuan Kerajaan Sriwijaya dan Kadara masa lalu, yaitu Sumatra dan Malaya,” jelasnya.

Namun yang menjadi pertanyaan baginya adalah mengapa di antara nisan Ratu Nur Ilah ini terdapat tulisan Jawa Kuno? Ratu Nurilah, sebagaimana disebutkan di atas, mangkat pada tahun 1380, masa Kerajaan Majapahit diperintah oleh Prabu Hayam Wuruk. “Patut dicatat bahwa Majapahit berada dalam puncak kejayaan pada pertengahan abad XIV berkat pimpinan Mahapatih Gadjah Mada. Dalam kitab Negarakrtagama yang digubah oleh Prapanca pada tahun 1365 disebutkan bahwa Samudra, tepatnya Samudra Pasai, adalah salah satu daerah yang ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit,” ungkapnya dalam tulisan tersebut.

Kemudian ia melanjutkan, sumber lain mengenai adanya serangan Majapahit terhadap Pasai terdapat dalam Kronika Pasai atau Hikayat Raja-raja Pasai. Meskipun tidak menyebutkan angka tahun penyerangan itu, hikayat ini masih memberikan indikasi waktu, yaitu dengan menceritakan nama raja yang berkuasa pada waktu serangan itu terjadi, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Ahmad.

Hikayat Raja-raja Pasai mengisahkan bahwa setelah tiga hari tiga malam berperang, kalahlah Pasai sehingga rakyat lari cerai berai. Laskar Majapahit masuk ke dalam kota Pasai dan menduduki istana Sultan Ahmad. Banyak rampasan dan tawanan yang mereka peroleh. Sultan Ahmad meninggalkan istana, melarikan diri ke suatu tempat kira-kira lima belas hari perjalanan dari negeri Pasai.

Setelah beberapa lama di Pasai, segala menteri punggawa dan rakyat Jawa dikerahkan oleh Senapati mereka naik ke bahteranya masing-masing, kembali ke Jawa, dengan memuat segala harta rampasan yang begitu banyak. Setelah sampai ke Majapahit, menurut Hikayat Raja-raja Pasai, Sang Nata bertitah, ‘’Akan segala tawanan orang Pasai itu, suruhlah ia duduk di tanah Jawa ini, maka kesukaan hatinya’’. Titah itulah, kata Hikayat Raja-raja Pasai selanjutnya, yang menyebabkan ‘’maka banyak keramat di Tanah Jawa tatkala Pasai kalah oleh Majapahit itu’’.

Dalam kaitan ini P De Roo de la Faille, dalam tulisannya ‘’Bij de Terreinschets van de Heilige Begraafplaats Goenoeng Djati’’, 1920, mengemukakan bahwa ditemukannya cungkub Puteri Cermen di desa Leran dengan candrasengkala 1313 atau 1308 Saka bertepatan dengan tahun 1391 atau 1386 Masehi menunjukkan telah adanya makam Islam di Gresik pada waktu itu. Hal itu, sesuai dengan dugaan de Roo de la Faile, bahwa koloni orang-orang Islam Gresik pada masa itu sesungguhnya berasal dari tawanan orang-orang Islam Pasai yang dibawa ke Majapahit.

Masih menurut Ibrahim Alfian, Dalam sebuah naskah Jawa, Tapel Adam, nama Pasai tercantum dalam sejarah pendakwah-pendakwah Islam pertama. Didalamnya diceritakan bahwa Syaikh Jumadilkubra adalah keturunan Zainul Abidin, sedangkan putera Jumadilkubra yang tertua adalah Maulana Ishak. ‘’wontening pase negeri, anyelammaken taiya, manjing Islam Nate Pase’’, dan puteranya yang kedua, Ibrahim Asmara, ‘’lumampah dateng Cempa’’.
Di dalam naskah Tapel Adam juga dikisahkan tentang Batara Majapahit yang memperisterikan puteri Raja Pasai dan saudara puteri itu datang ke Majapahit serta kemudian oleh Batara Majapahit dihadiahkan tanah Ampel-denta sebagai tempat kediamannya. Cerita seumpama ini terdapat pula dalam Hikayat Banjar yang juga akan dikemukakan di bawah ini.

Kemudian lanjut Ibrahim Alfian, pada akhir naskah Hikayat Raja-raja Pasai diceritakan sebagai berikut. ‘’Bahwa ini negeri yang takluk kepada Ratu [Raja] Negeri Majapahit kepada zaman pecahnya [kalahnya] Negeri Pasai, ratunya [rajanya] bernama Ahmad.’’

Cerita itu disertai dengan daftar nama-nama 35 buah negeri yang takluk kepada Majapahit, antara lain, untuk menyebutkan beberapa, Tiuman, Riau, Bangka, Sambas, Jambi, Kutai, Bima, Sumbawa, dan Seram. Hikayat Banjar juga menyebutkan bahwa yang takluk kepada Majapahit adalah Banten, Jambi, Palembang, Makasar, Pahang, Patani, Bali, Pasai, Campa, dan Minangkabau.
Nur Ilah Diangkat Jadi Ratu

Masih menurut Ibrahim Alfian, sebelum bala tentara Majapahit meninggalkan Pasai, kembali ke Jawa, rupanya pembesar-pembesar Majapahit telah mengangkat seorang raja, bangsawan Pasai, yang dapat dipercaya untuk memerintah Kerajaan Pasai. Raja ini tiada lain adalah Ratu Nur Ilah, keturunan Sultan Malikuzzahir, yang nisannya ditatah dengan huruf Jawa Kuno atas arahan yang diberikan oleh pembesar-pembesar Majapahit, tentunya.

Antara Kerajaan Majapahit dan Pasai terdapat hubungan persahabatan dan perdagangan yang sangat erat. Malaka yang mulai berkembang sebagai bandar dagang yang besar sekitar tahun 1400 Masehi mengakui peranan Pasai dan Majapahit dalam bidang perdagangan di Selat Malaka.

Tome Pires, yang menulis catatannya di Malaka dan India antara tahun-tahun 1512-1515 dalam Bahasa Portugis, dengan judul Suma Oriental, mengemukakan sebagai berikut. Malaka mengirim dutanya ke Majapahit untuk merayu Raja Jawa agar pedagang-pedagang Jawa mau melakukan kegiatan perdagangannya di Bandar Malaka. Raja Jawa mengemukakan kepada utusan Malaka itu, bahwa jung-jungnya telah lama sekali berlayar ke Pasai untuk berniaga dan ia mempunyai hubungan persahabatan yang erat dengan Pasai.
Di pelabuhan Pasai pedagang-pedagang Jawa memperoleh kedudukan istimewa dalam bentuk pembebasan dari keharusan membayar cukai impor serta ekspor dan perolehan barang dagangan yang baik dang menguntungkan. Raja Majapahit menambahkan, meskipun Raja Pasai menjadi vasal Majapahit, penentuan kebijaksanaannya dalam bidang perdagangan terserah kepada Raja Pasai sendiri. Ia sendiri tidak hendak menghapuskan kebiasaan yang telah lama ada dan telah disepakati sejak lama antara kedua kerajaan itu.

Setelah dutanya kembali ke Malaka, Raja Malaka mengirimkan pesan kepada Raja Pasai, mengharapkan kebaikannya agar menyetujui dan tidak berkecil hati jika Jawa berhubungan dagang dengan Malaka, serta memohon kebaikan Raja Pasai untuk megirimkan pedagang-pedagangnya beserta barang-barang dagangannya ke Malaka.

Raja Malaka juga menyampaikan bahwa ia telah mendapat jawaban dari Raja Majapahit, bahwa jika Raja Pasai bersetuju, Raja Majapahit akan berbesar hati. Raja Pasai kemudian mengirimkan utusannya ke Malaka untuk menyampaikan pesan bahwa Pasai tidak keberatan memenuhi permintaan Raja Malaka apabila Raja tersebut bersedia memeluk agama Islam. Akhirnya, Raja Malaka beserta segenap rakyatnya beriman akan Allah dan rasul-Nya dan sesudah itu banyak sekali pedagang Islam dari Pasai pindah berdagang ke Malaka, terutama bangsa Arab, Parsi dan Bengal.

Tautan antara Pasai dan Majapahit juga diungkapkan oleh Dr J J Ras dalam desertasinya yang dipertahankan pada tahun 1968 di Rijksuniversiteit Leiden, yaitu Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography. Di dalamnya dikisahkan tentang Raja Majapahit yang belum Islam, yang mengirim utusannya untuk meminang putri Pasai. Meskipun raja Pasai itu beragama Islam, ia tidak kuasa menolaknya, takut diserang oleh Majapahit. Ia hendak memelihara rakyat dan negerinya dari kebinasaan. Di Majapahit puteri Pasai itu diberi tempat tinggal yang terpisah, tiada bercampur dengan gundik-gundiknya yang lain, agar tiada memakan makanan yang haram.
Selang beberapa waktu datanglah saudara Puteri Pasai, Raja Bungsu namanya. Setelah beberapa lamanya ia di Majapahit, ia ingin kembali ke Pasai. Puteri Pasai itu tiada sekali-kali ingin saudaranya pulang ke Pasai, karena ia tidak mempunyai sanak saudara di Majapahit. Oleh karena Raja Bungsu berkeras hendak pulang juga ke Pasai maka puteri itu merasa sangat sedih. Karena Raja Majapahit sangat sayang kepada Puteri Pasai itu, dimintanya kepada Raja Bungsu agar tinggal saja di Majapahit, agar Puteri itu tidak sampai jatuh sakit. Raja Majapahit bertitah jika Raja Bungsu bersedia tinggal di Majapahit, ia dapat mendirikan rumah ditempat mana saja yang disukainya.
Akhirnya Raja Bungsu memilih Ampel sebagai tempat kediamannya dan Raja Majapahit berkenan meluluskan permohonan Raja Bungsu itu. Ketika menebas hutan di dukuh Ampel itu, Raja Bungsu menemukan kayu gading yang kemudian dijadikan tongkat. Sejak itu, dukuh itu terkenal dengan nama Ampelgading hingga sekarang ini. Karena desa Ampel hendak memeluk agama Islam, Raja Bungsu mengirim utusannya untuk menyampaikan hasrat tersebut kepada saudaranya, Puteri Pasai, yang kemudian meneruskannya kepada suaminya, Raja Majapahit.

Sabda Raja Majapahit menurut Hikayat Banjar, berbunyi demikian: ‘’Katakan arah Bungsu, barang siapa handak masuk Islam itu terima masukkan Islam itu. Jangankan desa itu, maski orang dalam nageri Majapahit ini, namun ia hendak masuk Islam itu, masukkan’’. Setelah suruhan Bungsu kembali ke Ampel, seluruh penduduk Ampel memeluk agama Islam

Sumber: Iskandar Norman - Harian Aceh

SEJHARAH BERDIRINYA KERAJAAN SAMUDRA PASE

Kapan sebenarnya Kerajaan Islam Samudera Pasai berdiri tidak ada suatu kepastian tahun yang didapat. Para peminat dan ahli sejarah masih belum bisa memperoleh suatu kesepakatan mengenai hal ini. Menurut tradisi dan berdasarkan penyelidikan atas beberapa sumber sementara , terutama yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat khususnya para sarjana Belanda sebelum perang seperti Snouck Hurgronye, J.P. Moquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan lain-lain, menyebutkan, bahwa Kerajaan Islam Samudera Pasai baru berdiri pada pertengahan abad ke XIII. Dan sebagai pendiri kerajaan ini adalah Sultan Malik As Salih yang meninggal pada tahun 1297.



Selain pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana Belanda itu, baik dalam seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia yang berlangsung di Medan sejak tanggal 17 s/d 20 Maret 1963, maupun dalam seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Daerah Istimewa Aceh yang berlangsung di Banda Aceh pada tanggal 10 s/d 16 Juli 1978, oleh beberapa sejarawan dan cendikiawan Indonesia (diantaranya Prof. Hamka, Prof. A.Hasjmy, Prof. H.Aboe Bakar Atjeh, H. Mohammad Said dan M.D. Mansoer) yang ikut serta dalam kedua seminar tersebut telah pula melontarkan beberapa pendapat dan dalil-dalil baru yang berbeda dengan yang lazim dikemukakan oleh para sarjana Belanda seperti tersebut di atas.

Berdasarkan beberapa petunjuk dan sumber-sumber baru yang mereka kemukakan diantaranya keterangan-keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara dan dua buah naskah lokal yang diketemukan di Aceh yaitu, “Idhahul Hak Fi Mamlakatil Peureula” karya Abu Ishak Al Makarany dan Tawarich Raja-raja Kerajaan Aceh ,mereka berkesimpulan bahwa Kerajaan Islam Samudera Pasai sudah berdiri sejak abad ke XI M, atau tepatnya pada tahun 433 H (1042 M). Dan sebagai pendiri serta sultan yang pertama dari kerajaan ini adalah Maharaja Mahmud Syah, yang memerintah pada tahun 433-470 H atau bertepatan dengan tahun 1042-1078 M.

Atas dasar peninggalan-peninggalan dan penemuan-penemuan dari hasil penggalian dan yang dilakukan oleh Dinas Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dapat diketahui bahwa lokasi kerajaan ini di daerah yang dewasa ini dikenal dengan nama Pasai. Yaitu suatu daerah di pantai Timur Laut Pulau Sumatera yang terletak antara dearah Peusangan dengan Sungai Jambo Aye di kabupaten Aceh Utara, Propinsi Daerah Istimewa Aceh. G.P. Rouffaer, salah seorang sarjana Belanda yang menyelidiki tentang kerajaan ini menyatakan bahwa Pasai mula-mula terletak di sebelah kanan Sungai Pasai, sedangkan Samudera berada di sebelah kirinya, tetapi lama kelamaan Samudera dan Pasai ini menjadi satu dan disebut Kerajaan Samudera Pasai

Menurut berita-berita luar yang juga diceritakan dalam Hikayat Raja-raja Pasai kerajaan ini letaknya di kawasan Selat Melaka pada jalur hubungan laut yang ramai antara dunia Arab, India dan Cina. Disebutkan pula bahwa kerajaan ini pada abad ke XIII sudah terkenal sebagai pusat perdagangan di kawasan itu.

Nama Samudera dan Pasai sudah populer disebut-sebut baik oleh sumber-sumber Cina, Arab dan Barat maupun oleh sumber-sumber dalam negeri seperti Negara Kertagama (karya Mpu Prapanca, 1365) pada abad ke XIII dan ke XIV M. Dan tentang asal usul nama kerajaan ini ada berbagai pendapat. Menurut J.L. Moens, kata Pasai berasal dari istilah Parsi yang diucapkan menurut logat setempat sebagai Pa’Se. Dengan catatan bahwa sudah semenjak abad ke VII M, saudagar-saudagar bangsa Arab dan Parsi sudah datang berdagang dan berkediaman di daerah yang kemudian terkenal sebagai Kerajaan Islam Samudera Pasai . Pendapat ini adalah sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Prof. Gabriel Ferrand dalam karyanya (L’Empire, 1922, hal.52-162), dan pendapat Prof. Paul Wheatley dalam (The Golden Khersonese, 1961, hal.216), yang didasarkan pada keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara. Kedua sarjana ini menyebutkan bahwa sudah sejak abad ke VII M, pelabuhan-pelabuhan yang terkenal di Asia Tenggara pada masa itu, telah ramai dikunjungi oleh para pedagang dan musafir-musafir Arab. Bahkan pada setiap kota-kota dagang itu telah terdapat fondachi-fondachi atau permukiman-permukiman dari pedagang-pedagang yang beragama Islam. Mohammad Said, salah seorang wartawan dan cendikiawan Indonesia yang berkecimpung dengan penelitiannya tentang kerajaan ini dan kerajaan Aceh, dalam prasarannya yang berjudul “Mentjari Kepastian Tentang Daerah Mula dan Cara Masuknya Agama Islam ke Indonesia, berkesimpulan bahwa istilah PO SE yang populer digunakan pada pertengahan abad ke VIII M seperti terdapat dalam laporan-laporan Cina, adalah identik atau mirip sekali dengan Pase atau Pasai.

Sehubungan dengan asal nama kerajaan Samudera Pasai ini, Hikayat Raja-raja Pasai salah sebuah Historiografi Melayu yang banyak mengandung unsur-unsur Mythe, Legende, Geneologi dan Sejarah di dalamnya , memberi suatu keterangan yang berkaitan dengan totemisme, yaitu disebutkan antara lain:
“…pada suatu hari merah Silu pergi berburu. Maka ada seekor anjing dibawanya akan perburuan Merah Silu itu bernama si Pasai. Maka dilepaskannya anjing itu lalu menjalak di atas tanah tinggi itu. Maka dilihatnya ada seekor semut besarnya seperti kucing maka ditangkapnya oleh erah Silu itu lalu dimakannya. Maka tanah tinggi itupun disuruh Merah Silu tebas pada segala orang yang sertanya itu. Maka setelah itu diperbuatnya akan istananya. Setelah sudah maka Merah Silupun duduklah ia di sana dengan segala hulubalangnya dan segala rakyatnya diam ia di sana maka dinamai oleh Merah Silu negeri Samudera, artinya semut yang amat besar.

Selanjutnya tentang asal nama Pasai, baik Hikayat Melayu maupun Hikayat Raja-raja Pasai menyebutkan sebagai berikut:
“…setelah sudah jadi negeri itu maka anjing perburuan yang bernama si Pasai itupun matilah pada tempat itu. Maka disuruh sultan tanamkan dia di sana juga. Maka dinamai baginda akan nama anjing nama negeri itu”.

Kalau kita berpegang dari keterangan kedua hikayat yang mithologis tersebut, maka nama Samudera berasal dari nama seekor semut besar dan nama Pasai berasal dari nama anjingpiaraan Raja merah Silu, yaitu si Pasai. Hal ini sangat menarik untuk diselidiki lebih lanjut, sejauh mana terdapat hubungan antara totemisme dengan usaha pemberian keterangan tentang asal dan arti kerajaan Islam Samudera Pasai itu. Karena lazimnya untuk nama kerajaan-kerajaan di Nusantara ini sebelum tahun 1500, diambil dari nama pohon, buah-buahan dan lain sebagainya.

Seperti juga disebutkan dalam kedua hikayat tersebut di atas, bahwa raja Samudera Pasai yang pertama sekali menganut agama Islam adalah Malik As Salih. Pada nisan sultan ini yang dibuat dari batu graniet dapat diketahui bahwa ia mangkat pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M.Tentang bagaimana dan siapa yang mengembangkan agama Islam buat pertama kali di kerajaan ini, Hikayat Raja-raja Pasai antara lain meyebutkan sebagai berikut:
“…pada zaman Nabi Muhammad Rasul Allah salla’llahu ‘alaihi wassalama tatkala lagi hajat hadhrat jang maha mulja itu, maka sabda ia pada sahabat baginda di Mekkah, demikian sabda baginda: “Bahwa ada sepeninggalku itu ada sebuah negeri di atas angin samudera namanja. Apabila ada didengar kabar negeri itu maka kami suruh kamu sebuah kapal membawa perkakas dan kamu bawa ia orang dalam negeri masuk agama Islam serta mengutjapkan dua kalimah sjahadat. Sjahdan lagi akan didjadikan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam negeri itu terbanjak daripada segala wali Allah djadi dalam negeri itu”.

Dan tentang pengislaman serta penggantian nama Raja Merah Silu dengan nama yang baru Malikul Salih, hikayat itu juga memberi keterangan:
“Sebermula maka bermimpi Merah Silu dilihatnja dalam mimpinja itu ada seorang-orang menumpang dagunya dengan segala djarinja dan matanja ditutupnja dengan empat djarinja, demikian katanja: “Hai Merah Silu, udjar olehmu dua kalimah Sjahadat”.

Maka sahut Merah Silu “Tiada hamba tahu mengutjap akan dia”.

Maka Udjarnya: “Bukakan mulutmu”. Maka dibukanja mulut Merah Silu, maka diludahinja mulut merah silu itu rasanya lemak manis. Maka udjarnja akan merah silu “Hai Merah Silu engkaulah Sultan Malikul’-Saleh namamu sekarang Islamlah engkau dengan mengutjap dua kalimah itu…”

Hikayat itu juga menyebutkan bahwa orang yang menyebarkan/mengislamkan Sultan Samudera Pasai itu adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad Rasul Allah Salla’llahu’alaihi wasallam, yaitu seorang Syarif berasal dari Mekah yang bernama Syarif Syaih Ismail .

Selain menurut hikayat tersebut, tradisi setempat juga menyebutkan bahwa raja pertama yang memeluk agama Islam di wilayah itu adalah Sultan Malik Al Salih. Tetapi menurut catatan atau suatu sumber yang dimiliki oleh M. Junus Jamil, menyebutkan bahwa pada awal bulan Zulkaidah 610 Hijrah (1213 M), telah meninggal di kerajaan itu (Samudera Pasai) seorang Wazir Sultan Al Kamil yang bernama Maulana Quthubulma’ali Abdurrahman Al Pasi. Kalau sumber ini benar maka keterangan tersebut bermakna bahwa jauh sebelum Malik As Salih sudah terdapat sultan yang memeluk agama Islam di kerajaan itu. Seperti telah disebutkan bahwa raja Samudera Pasai yang pertama berdasarkan sumber sejarah yang konkrit ialah Malik As Salih yang meninggal tahun 1297. Kalau dalam tahun 1297, kita kenal sebagai tahun kematian raja itu, tentunya masyarakat Islam di kerajaan itu telah terdapat jauh sebelumnya. Karena pertumbuhan sesuatu biasanya menghendaki suatu proses, suatu tempo yang lama. Demikian juga dari keterangan yang diberikan Hikayat Raja-raja PasaiI seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa Nabi Muhammad telah menyebutkan nama kerajaan Samudera dan juga agar penduduk kerajaan itu diislamkan oleh salah seorang sahabat beliau, maka bukan tidak mungkin Islam sudah masuk ke kerajaan itu tidak lama sesudah Nabi Muhammad wafat. Jadi pada sekitar abad pertama Hijrah atau bertepatan dengan abad ketujuh/kedelapan tahun Masehi. Dan dapat pula diperkirakan bahwa Islam yang masuk itu langsung datang dari Mekah.

Bukanlah maksud penulis di sini untuk membuat suatu uraian panjang lebar tentang masalah proses masuknya Islam ke Kerajaan Samudera Pasai. Sebagaimana telah penulis singgung pada awal tulisan ini, adalah masih sangat sukar untuk merekonstruksikan sejarah kerajaan-kerajaan di wilayah Indonesia pada periode sebelum tahun 1500, oleh karena bukti sejarah tentang hal itu masih belum memadai. Di sini penulis hanya mencoba merangkaikan suatu gambaran sejarah berdasarkan tulisan-tulisan yang telah ada tentang kerajaan itu. Maka untuk mendapat suatu gambaran historis dari perkembangan Kerajaan Islam Samudera Pasai, berikut ini akan ditinjau beberapa aspek, terutama tentang sistem sosio kulturil yang penulis perkirakan berlaku di kerajan itu.

Seperti diketahui, Samudera Pasai adalah sebuah kerajaan yang bercorak Islam dan sebagai pimpinan tertinggi kerajaan berada di tangan sultan yang biasanya memerintah secara turun temurun. Lazimnya kerajaan-kerajaan pantai atau kerajaan yang berdasarkan pada kehidupan/kejayaan maritim yang termasuk dalam struktur kerajaan tradisionil kerajaan-kerajaan Melayu, seperti kerajaan Islam Samudera Pasai, disamping terdapat seorang sultan sebagai pimpinan kerajaan, terdapat pula beberapa jabatan lain, seperti Menteri Besar (Perdana Menteri atau Orang Kaya Besar), seorang Bendahara, seorang Komandan Militer atau Panglima Angkatan laut yang lebih dikenal dengan gelar Laksamana, seorang Sekretaris Kerajaan, seorang Kepala Mahkamah Agama yang dinamakan Qadi, dan beberapa orang Syahbandar yang mengepalai dan mengawasi pedagang-pedagang asing di kota-kota pelabuhan yang berada di bawah pengaruh kerajaan itu. Biasanya para Syahbandar ini juga menjabat sebagai penghubung antara sultan dan pedagang-pedagang asing.

Sebagaimana lazimnya sebuah kerajaan maritim, Kerajaan Islam Samudera Pasai dapat berkembang karena mempunyai suatu kekuatan angkatan laut yang cukup besar menurut ukuran masa itu dan mutlak diperlukan untuk mengawasi perdagangan di wilayah kekuasaannya. Dan karena sebagai kerajaan maritim, kerajaan ini sedikit sekali mempunyai basis agraris yang hanya diperkirakan berada sekitar sebelah –menyebelah sungai Pasai dan sungai Peusangan saja, dimana terdapat sejumlah kampung-kampung (meunasah-meunasah) yang merupakan unit daripada bentuk masyarakat terkecil di wilayah Samudera Pasai pada waktu itu. Dan selain itu meunasah-meunasah ini merupakan lembaga-lembaga pemerintahan terkecil pula dari Kerajaan Samudera Pasai pada waktu itu.

Pengawasan terhadap perdagangan dan pelayaran di kota-kota pantai yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Samudera Pasai merupakan sendi-sendi kerajaan yang memungkinkan kerajaan memperoleh penghasilan dan pajak yang besar selain upeti-upeti yang dipersembahkan oleh kerajaan-kerajaan di bawah pengaruhnya. Perdagangan yang menjadi basis hubungan-hubungan yang tetap dengan kerajaan-kerajaan luar seperti dengan Malaka, Cina, India dan sebagainya, telah menjadikan Kerajaan Islam Samudera Pasai sebagai sebuah Kerajaan Islam yang sangat terkenal dan berpengaruh di kawasan Asia Tenggara terutama pada abd ke XIV dan XV. Karena kebesarannya itu, maka Kerajaan Islam Samudera Pasai telah pula dapat mengembangkan penyiaran agama Islam ke wilayah-wilayah lainnya di Nusantara pada waktu itu.

Diantaranya ke Minangkabau, Palembang, Jambi, Patani, Malaka, Jawa dan beberapa kerajaan pantai di sekitarnya. Pada abad ke XIV Kerajaan Islam Samudera Pasai menjadi pusat studi agama Islam dan juga tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negara Islam untuk berdiskusi tentang masalah-masalah keduniawian dan keagamaan. Berdasarkan berita dari Ibn.Batutah, seorang pengembara asal Maroko yang mengunjungi Samudera Pasai pada tahun 1345/6, kerajaan ini berada pada puncak kejayaannya. Ibn-Batutah berada dikerajaan ini selama dua minggu dan telah melihat banyak tempat ini(kraton Samudera Pasai), mempunyai benteng di sekelilingnya. Dia telah diterima oleh wakil laksamana di Balairung dan telah diberi persalinan menurut adat setempat. Pada hari ketiga di sana Ibn Batutah mendapat kesempatan untuk menghadap sultan yang memerintah pada ketika itu yaitu Sultan Malikul Zahir yang dianggapnya sebagai sultan yang termasyur dan peramah. Selama di Samudera Pasai Ibn Batutah telah berjumpa dengan tiga orang ulama terkenal, yang masing-masing bernama Amir Dawlasa berasal dari Delhi (India), Kadi Amir Said berasal dari Shiraz dan Tajuddin berasal dari Ispahan. Dan disebutkan bahwa sultan Samudera Pasai sangat suka berdiskusi masalah-masalah agama dengan ulama-ulama itu.

Dengan melihat Samudera Pasai sebagai pusat studi dan pertemuan para ulama seperti tersebut di atas dan sesuai dengan yang telah diutarakan oleh Prof.A.Hasjmy, bahwa banyak sekali tokoh dan para ahli dari berbagai disiplin pengetahuan yang datang dari luar seperti dari Persia (bagian dari Daulah Abbasiyah) untuk membantu kerajaan Islam Samudera Pasai, maka dapat dipastikan bahwa sistem dan organisasi pemerintahan di kerajaan itu, tentunya seirama dengan sistem yang dianut oleh pemerintahan daulah Abbasiyah. Dan menurut catatan Ibn Batutah, diantara pejabat tinggi Kerajaan Islam Samudera Pasai yang ikut melepaskan sultan meninggalkan mesjid di hari Jum’at yaitu Al Wuzara (para menteri) dan Ak Kuttab (para sekretaris) dan para pembesar lainnya . Selain itu menurut catatan M.Yunus Jamil, bahwa pejabat-pejabat Kerajaan Islam Samudera Pasai terdiri dari orang-orang alim dan bijaksana. Adapun nama-nama dan jabatan-jabatan mereka adalah sebagai berikut:
1. Seri Kaya Saiyid Ghiyasyuddin, sebagai Perdana Menteri.
2. Saiyid Ali bin Ali Al Makaarani, sebagai Syaikhul Islam.
3. Bawa Kayu Ali Hisamuddin Al Malabari, sebagai Menteri Luar Negeri.

Dari catatan-catatan, nama-nama dan lembaga-lembaga seperti tersebut di atas, Prof.A.Hasjmy berkesimpulan bahwa, sistem pemerintahan dalam Kerajaan Islam Samudera Pasai sudah teratur baik, dan berpola sama dengan sistem pemerintahan Daulah Abbasiyah di bawah Sultan Jalaluddin Daulah (416-435 H).

Untuk lebih mempererat hubungan antar kerajaan-kerajaan yang berada di bawah pengaruh Samudera Pasai ditempuh pula lewat jalan perkawinan. Dapat disebutkan di sini misalnya, perkawinan antara putri-putri dari Kerajaan Perlak dengan sulthan-sulthan Kerajaan Samudera Pasai. Selain itu juga Raja Malaka yang pertama Parameswara setelah memeluk agama Islam telah mempersunting puteri Kerajaan Pasai sebagai isterinya. Dan dengan adanya perkawinan ini telah meningkatkan pula hubungan perdagangan antara Malaka dengan Kerajaan Samudera Pasai. Juga pada masa kejayaan kerajaan ini seorang ulama Pasai yang bernama Fatahillah, telah melakukan dakwah Islam sampai ke Pulau Jawa. Dan setelah mengislamkan Banten serta memperisteri putri dari kerajaan tersebut, kemudian mendirikan suatu kesultanan di sana.

Berdasarkan beberapa mata uang emas yang disebut deureuham, yang berhasil diketemukan sebagai sebagai salah satu peninggalan dari kerajaan itu, menunjukkan bahwa kerajaan Islam Samudera Pasai cukup makmur pada kurun waktu seperti tersebut di atas. Karena sebuah kerajaan yang dapat menerbitkan mata uang emas sendiri pada masa itu, menandakan bahwa kerajaan itu cukup makmur menurut ukuran masa itu. Mata uang emas Kerajaan Samudera Pasai ini telah diperkenalkan pula oleh orang-orang kerajaan itu ke beberapa bandar perdagangan di Nusantara pada waktu itu, diantaranya ke bandar Malaka.

Atas dasar mata uang emas yang pernah diketemukan itu, dapat diketahui pula beberapa nama-nama raja yang pernah memerintah di Kerajaan Islam Samudera Pasai. Menurut T. Ibrahim Alfian yang mendasarkan atas mata uang emas tersebut, urutan-urutan raja yang memerintah di kerajaan tersebut adalah sebagai berikut: sebagai sulthan yang pertama adalah sulthan Malik As Salih yang memerintah pada tahun 1297. Sulthan ini diganti oleh puteranya yang bernama Sulthan Muhammad Malik Az Zahir (1297-1326); sebagai sulthan yang ketiga yaitu sulthan Mahmud Malik Az-Zahir (1326 ± 1345); sulthan yang keempat adalah Mansur Malik Az-Zahir (?- 1346); sulthan yang kelima adalah Sulthan Ahmad Malik Az-Zahir yang memerintah (ca. 1346-1383); sebagai sulthan yang keenam yaitu Sulthan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir yang memerintah (1383-1405); sulthan yang ketujuh yaitu Sultanah Nahrasiyah, yang memerintah (1405-1412); sebagai sulthan yang kedelapan yaitu Sulthan Sallah Ad-Din yang memerintah (ca.1402-?); sulthan yang kesembilan yaitu Abu Zaid Malik Az-Zahir (?-1455); sebagai sulthan yang kesepuluh yaitu Mahmud Malik Az-Zahir, memerintah (ca.1455-ca. 1477); sulthan yang kesebelas yaitu Zain Al-‘Abidin, memerintah (ca.1477-ca.1500); sebagai sulthan yang sebagai kedua belas yaitu Abdullah Malik Az-Zahir, yang memerintah (ca.1501-1513); dan sebagai sulthan yang terakhir dari Kerajaan Islam samudera Pasai adalah Sulthan Zain Al’Abidin, yang memerintah tahun 1513-1524.
Setelah tahun 1524, Kerajaan Islam Samudera Pasai berada di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.

Sumber : http://plik-u.com/?p=570
Oleh: Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo
(Baca: Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh-Badan Perpustakaan Prov. NAD)

KETIKA MAJAPAHIT DI KALAHKAN OLEH KERAJAAN PASE

Para ahli sejarah mungkin akan menolak pernyataan ini, karena dalam sejarah tidak pernah terjadi sebuah Kerajaan Islam di Acheh menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit yang terkenal kemegahan dan kebesarannya itu. Bahkan dalam sejarah, sebagaimana disebutkan ”Kronika Pasai”, bahwa Kerajaan Majapahitlah, dibawah Mahapatih Gadjah Mada yang telah menaklukkan Kerajaan Pasai. Namun jika kita lebih teliti dan jeli, maka akan terungkap sebuah sejarah yang selama ini ditutupi dengan rapi oleh para penjajah dan antek-anteknya untuk mengecilkan peran Kerajaan-Kerajaan Islam di Acheh dalam proses Islamisasi di Nusantara.



Fakta yang akan mengungkap bahwa Kerajaan Islam Pasai-Acheh telah berhasil menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit adalah dengan meneliti dan mengungkap dari mana asal sebenarnya ”Puteri Champa” yang menjadi istri Raden Prabu Barawijaya V, Raja terakhir Kerajaan Hindu Majapahit, yang telah melahirkan Raden Fatah, Sultan pertama Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama yang mengakhiri riwayat Kerajaan-Kerajaan Hindu di Jawa.

Banyak ahli sejarah Islam Nusantara yang masih konfius dengan keberadaan Kerajaan ”Champa”, negeri asal ”Puteri Penakluk Kerajaan Jawa-Hindu” yang dianggap memiliki peran penting dan sentral dalam proses Islamisasi Nusantara pada tahap awal, terutama antara kurun abad 13 sampai 15 Masehi. Sehubungan dengan keberadaan ”Champa”, ada dua teori yang beredar. Pertama teori yang didukung oleh para peneliti Belanda, seperti Snouck dan lain-lainnya yang beranggapan bahwa Champa berada di sekitar wilayah Kambodia-Vietnam sekarang. Dengan teorinya ini kemudian mereka menyatakan bahwa Wali Songo yang berperan dalam proses Islamisasi Jawa, menjadikan daerah ini sebagai basis perjuangan Islamisasi Nusantara dengan mengenyampingkan sama sekali peranan Perlak, Pasai dan beberapa Kerajaan di sekitar Acheh dalam Islamisasi Nusantara.

Tentu karena mereka beranggapan bahwa Champa Kambodia-Vietnam adalah wilayah Muslim dan pusat Islam yang jauh lebih maju dan berperadaban dibandingkan dengan beberapa wilayah di Acheh tersebut. Dan anehnya, teori inilah yang sangat populer dan menjadi rujukan para cendekiawan Muslim tanpa mengkritisinya lebih jauh. Namun ada teori lain tentang Champa ini.

Teori yang akan dikemukakan ini, utamanya berdasarkan teori dari Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga seorang peneliti sosial, Sir TS. Raffles dalam bukunya The History of Java. Teori Raffles menyebutkan bahwa Champa yang terkenal di Nusantara, bukan terletak di Kambodia sekarang sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Tapi Champa adalah nama daerah di sebuah wilayah di Acheh, yang terkenal dengan nama ”Jeumpa”. Champa adalah ucapan atau logat Jeumpa dengan dialek ”Jawa”, karena penyebutannya inilah banyak ahli yang keliru dan mengasosiasikannya dengan Kerajaan Champa di wilayah Kambodia dan Vietnam sekarang. Jeumpa yang dinyatakan Raffles sekarang berada di sekitar daerah Kabupaten Bireuen Acheh. [60]

”Putri Champa” biasanya dihubungkan dengan istri Prabu Brawijaya V yang dalam Babad Tanah Jawi, disebutkan bernama Anarawati (Dwarawati) yang beragama Islam. Puteri inilah yang melahirkan Raden Fatah, yang kemudian menyerahkan pendididikan putranya kepada seorang keponakannya yang dikenal dengan Sunan Ampel (Raden Rahmat) di Ampeldenta Surabaya. Sejarah mencatat, Raden Fatah menjadi Sultan pertama dari Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri sejarah kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.[61]

”Sang Putri Penakluk” ini adalah wanita luar biasa. Dia adalah seorang ibu yang tabah, besar hati, penyayang namun mewarisi semangat perjuangan yang tidak kalah dengan Laksamana Malahayati, Tjut Nya’ Dhien, Tjut Mutia dan para wanita pejuang agung Acheh lainnya. Bagaimana tidak, dia harus berpisah jauh dari lingkungannya ke tanah Jawa yang asing baginya, tiada handai tolan, hidup dilingkungan masyarakat Jawa-Hindu yang berbeda budaya dan tradisi dengan negeri asalnya, bahkan ada yang menyatakan suaminyapun masih beragama Hindu dalam tradisi Kerajaan Majapahit yang feodalis. Namun karena para Ulama-Pejuang sekelas Maulana Malik Ibrahim atas dukungan para Sultan Muslim menugaskannya berdakwah dengan caranya, wanita agung inipun ikhlas melakoni peran perjuangannya.

Dengan takdir Allah, beliau melahirkan seorang anak laki-laki yang kelak dikenal dengan Raden Fatah. Demi kelanjutan agamanya, dia rela meninggalkan kegemerlapan istana Majapahit sebagai permaisuri agung untuk memastikan putranya dapat pendidikan terbaik agar menjadi seorang pemimpin Islam di Jawa. Raden Fatah kecil mendapat kasih sayang serta bimbingan ibundanya bersama para Wali yang dipimpin sepupunya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang juga dilahirkan di Kerajaan asal ibunya........
Dari negeri manakah gerangan ”Sang Puteri Penakluk” yang telah sukses gemilang menjalankan tugas agamanya, sebagai seorang ibu pendidik agung (madrasat al-kubra), pejuang suci (mujahidah fi sabilillah), pendakwah Islam (da’i) sekaligus sebagai penyebab (asbab) keruntuhan sebuah dinasti Hindu terbesar yang menjadi lambang keagungan dan kebesaran bangsa Jawa, dengan Mahapatih sadis Gadjah Mada itu.

Tradisi dan peradaban masyarakat model apakah yang telah menjadikannya sebagai seorang wanita pejuang yang rela mengorbankan diri, perasaan dan kemerdekaannya demi kejayaan Islam agamanya. Pendidikan apakah yang diterimanya sehingga berani menerjang medan laga menghadapi benteng super power Majapahit. Dari sisi manapun kita nilai, wanita ini adalah wanita besar, namun terhijab peran agungnya oleh wanita selir Jawa sekelas RA. Kartini, seorang selir Bupati Rembang yang dijadikan tokoh wanita hanya karena bisa bahasa penjajah Belanda dan dekat dengan penjajah kaphe. Siapa Kartini jika disandingkan dengan Ratu Tajul Alam Syafiatuddin, Sultanah Acheh yang memimpin masyarakat kosmopilit Acheh masa itu dan memiliki kekuasaan seluruh Sumatra dan Semenjang Melayu?

Untuk memastikan dimanakah negeri Champa yang telah ditinggali Maulana Malik Ibrahim dan asal saudara iparnya ”Putri Champa Penakluk Majapahit”, maka perlu diselidiki bagaimanakah keadaan Champa waktu itu, baik yang berada di Acheh maupun Kambodia.

Para ahli sejarah memperkirakan Maulana Malik Ibrahim berada Champa sekitar 13 tahun, antara tahun 1379 sampai dengan 1392.[62] Champa di Kambodia masa itu sedang di perintah oleh Chế Bồng Nga antara tahun 1360-1390 Masehi, dikenal dengan The Red King (Raja Merah) seorang Raja terkuat dan terakhir Champa. Tidak diketahui apakah Raja ini Muslim, atau memang Budha sebagaimana mayoritas penduduk Kambodia sampai sekarang dengan banyak peninggalan kuil-kuilnya namun tidak ada masjid. Beliau berhasil menyatukan dan mengkordinasikan seluruh kekuatan Champa pada kekuasaannya, dan pada tahun 1372 menyerang Vietnam melalui jalur laut. Champa berhasil memasuki kota besar Hanoi pada 1372 dan 1377.

Pada penyerangan terakhir tahun 1388, dia dikalahkan oleh Jenderal Vietnam Ho Quy Ly, pendiri Dinasti Ho. Che Bong Nga meninggal dua tahun kemudian pada 1390. Tidak banyak catatan hubungan Penguasa Champa ini dengan Islam, apalagi tidak didapat bekas-bekas kegemilangan Islam, sebagaimana yang ditinggalkan para pendakwah di Perlak, Pasai ataupun Malaka.[63]
Sementara catatan sejarah menyatakan lain, yang terkenal dengan Sultan Cam atau Champa adalah Wan Abdullah atau Sultan Umdatuddin atau Wan Abu atau Wan Bo Teri Teri atau Wan Bo saja, memerintah pada tahun 1471 M - 1478 M.

Menurut silsilah Kerajaan Kelantan Malaysia, silsilah beliau adalah : Sultan Abu Abdullah (Wan Bo) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra) ibni Ahmad Syah Jalal ibni Abdullah ibni Abdul Malik ibni Alawi Amal Al-Faqih ibni Muhammas Syahib Mirbath ibni ‘Ali Khali’ Qasam ibni Alawi ibni Muhammad ibni Alawi ibni Al-Syeikh Ubaidillah ibni Ahmad Muhajirullah ibni ‘Isa Al-Rumi ibni Muhammad Naqib ibni ‘Ali Al-Uraidhi ibni Jaafar As-Sadiq ibni Muhammad Al-Baqir ibni ‘Ali Zainal Abidin ibni Al-Hussein ibni Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah SAW.

Jadi Raja Cham ini adalah anak saudara dari Maulana Malik Ibrahim, yaitu anak dari adik beliau bernama Ali Nurul Alam, dari ibu keturunan Patani-Senggora di Thailand sekarang. Wan Bo atau Wan Abdullah ini juga adalah bapak kepada Syarief Hidayatullah, pengasas Sultan Banten sebagaimana silsilah yang dikeluarkan Kesultanan Banten Jawa Barat: Syarif Hidayatullah ibni Abdullah (Umdatuddin) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Al-Hussein (Sayyid Hussein Jamadil Kubra) ibni Ahmad Syah Jalal dan seterusnya seperti di atas.[64]

Dimana sebenarnya Kerajaan Champa yang dipimpin oleh Raja Champa yang menjadi mertua Maulana Malik Ibrahim, yang menjadi ayah kandung ”Puteri Champa”. Padahal jika dikaitkan dengan fakta di atas, mustahil mertua Maulana Malik atau ayah ”Puteri Champa” itu adalah Wan Bo (Wan Abdullah) karena menurut silsilah dan tahun kelahirannya, beliau adalah pantaran anak saudara Maulana Malik yang keduanya terpaut usia 50 tahun lebih. Raden Rahmat (Sunan Ampel) sendiri lahir pada tahun 1401 di ”Champa” yang masih misterius itu. Boleh jadi yang dimaksud dengan Kerajaan Champa tersebut bukan Kerajaan Champa yang dikuasai Dinasti Ho Vietnam, tapi sebuah perkampungan kecil yang berdekatan dengan Kelantan?.

Inipun masih menimbulkan tanda tanya, dimanakah peninggalannya?. Bahkan ada pula yang mengatakan Champa berdekatan dengan daerah Fatani, Selatan Thailand berdekatan dengan Songkla, yang merujuk daerah Senggora zaman dahulu.[65]

Martin Van Bruinessen telah memetik tulisan Saiyid ‘Al-wi Thahir al-Haddad, dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren ..“Putra Syah Ahmad, Jamaluddin dan saudara-saudaranya konon telah mengembara ke Asia Tenggara..... Jamaluddin sendiri pertamanya menjejakkan kakinya ke Kemboja dan Acheh, kemudian belayar ke Semarang dan menghabiskan waktu bertahun-tahun di Jawa, hingga akhirnya melanjutkan pengembaraannya ke Pulau Bugis, di mana dia meninggal.” (al-Haddad 1403 :8-11). Diriwayatkan pula beliau menyebarkan Islam ke Indonesia bersama rombongan kaum kerabatnya. Anaknya, Saiyid Ibrahim (Maulana Malik Ibrahim) ditinggalkan di Acheh untuk mendidik masyarakat dalam ilmu keislaman. Kemudian, Saiyid Jamaluddin ke Majapahit, selanjutnya ke negeri Bugis, lalu meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan). Tahun kedatangannya di Sulawesi adalah 1452M dan tahun wafatnya 1453M”.

Jadi tidak diragukan bahwa yang ke Kamboja itu adalah ayah Maulana Malik Ibrahim, Saiyid Jamaluddin yang menikah di sana dan menurunkan Ali Nurul Alam. Sedangkan mayoritas ahli sejarah menyatakan Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand atau Persia, sehingga di gelar Syekh Maghribi. Beliau sendiri dibesarkan di Acheh dan tentu menikah dengan puteri Acheh yang dikenal sebagai ”Puteri Raja Champa”, yang melahirkan Raden Rahmat (Sunan Ampel).

Lagi pula keadaan Champa Kambodia sezaman Maulana Malik Ibrahim sedang huru hara dan terjadi pembantaian terhadap kaum Muslim yang dilakukan oleh Dinasti Ho yang membalas dendam atas kekalahannya pada pasukan Khulubay Khan, Raja Mongol yang Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu. Keadaan ini sangat jauh berbeda dengan keadaan Jeumpa yang menjadi mitra Kerajaan Pasai pada waktu itu yang menjadi jalur laluan dan peristirahatan menuju kota besar seperti Barus, Fansur dan Lamuri dari Pasai ataupun Perlak. Kerajaan Pasai adalah pusat pengembangan dan dakwah Islam yang memiliki banyak ulama dan maulana dari seluruh penjuru dunia.

Sementara para sultan adalah diantara yang sangat gemar berbahas tentang masalah-masalah agama, di istananya berkumpul sejumlah ulama besar dari Persia, India, Arab dan lain-lain, sementara mereka mendapat penghormatan mulia dan tinggi.[66] Dan Sejarah Melayu menyebutkan bahwa ”segala orang Samudra (Pasai) pada zaman itu semuanya tahu bahasa Arab.[67]
Populeritas Jeumpa (Acheh) di Nusantara, yang dihubungkan dengan puteri-puterinya yang cerdas dan cantik jelita, buah persilangan antara Arab-Parsi-India dan Melayu, yang di Acheh sendiri sampai saat ini terkenal dengan Buengong Jeumpa, gadis cantik putih kemerah-merahan, tidak lain menunjukkan keistimewaan Jeumpa di Acheh yang masih menyisakan kecantikan puteri-puterinya di sekitar Bireuen.

Pada masa kegemilangan Pasai, istilah puteri Jeumpa (lidah Jawa menyebut ”Champa”) sangat populer, mengingat sebelumnya ada beberapa Puteri Jeumpa yang sudah terkenal kecantikan dan kecerdasannya, seperti Puteri Manyang Seuludong, Permaisuri Raja Jeumpa Salman al-Parisi, Ibunda kepada Syahri Nuwi pendiri kota Perlak. Puteri Jeumpa lainnya, Puteri Makhdum Tansyuri (Puteri Pengeran Salman-Manyang Seuludong/Adik Syahri Nuwi) yang menikah dengan kepala rombongan Khalifah yang dibawa Nakhoda, Maulana Ali bin Muhammad din Ja’far Shadik, yang melahirkan Maulana Abdul Aziz Syah, Raja pertama Kerajaan Islam Perlak.

Mereka seterusnya menurunkan Raja dan bangsawan Perlak, Pasai sampai Acheh Darussalam. Demikian pula keturunan Syahri Nuwi dari Sultan Perlak bergelar Makhdum juga disebut sebagai Putri Jeumpa, karena beliau lahir di Jeumpa. Kecantikan dan kecerdasan puteri-puteri Jeumpa sudah menjadi legenda di antara pembesar-pembesar istana Perlak, Pasai, Malaka, bahkan sampai ke Jawa. Itulah sebabnya kenapa Maharaja Majapahit, Barawijaya V sangat mengidam-idamkan seorang permaisuri dari Jeumpa. Bahkan dalam Babat Tanah Jawi, disebutkan bagaimana mabok kepayangnya sang Prabu ketika bertemu dengan Puteri Jeumpa yang datang bersama dengan rombongan Maulana Malik Ibrahim dan para petinggi Pasai.

Secara umum, wajah orang Champa Kambodia lebih mirip dengan Cina, kecil-kecil dan memiliki kulit seperti orang Kelantan sekarang, sementara bahasanya susah dimengerti karena dialeknya berbeda dengan rumpun bahasa Melayu yang menjadi bahasa pertuturan dan pengantar Nusantara saat itu. Muka-muka Arab, seperti wajah Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmat ataupun gelar mereka, Sayyid, Maulana, dan lainnya jarang adanya dan tidak seperti rata-rata orang Perlak, Pasai, Jeumpa ataupun umumnya orang Acheh yang lebih mirip ke wajah Arab, India atau Parsia. Sebagaimana diketahui, Maulana Malik Ibrahim dan Raden Rahmat memberikan pelajaran agama kepada orang Jawa menggunakan bahasa Melayu Sumatera yang banyak digunakan di sekitar Perlak, Pasai, Lamuri, Barus, Malaka, Riau-Lingga dan sekitarnya, sebagaimana dalam manuskrip agama yang dikarang para Ulama terkemudian seperti terjemahan karya Abu Ishaq, kitab-kitab Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, Raja Ali Haji dan lainnya.

Dari segi geografis dan taktik-strategi perjuangan, kelihatannya mustahil para pendakwah, khususnya gerakan Para Wali yang akan menaklukkan pulau Jawa bermarkas di sebuah perkampungan Muslim minoritas dekat Vietnam. Apalagi pada masa itu Champa sepeninggal Raja terakhirnya, Che Bong Nga (w.1390), sepenuhnya dikuasai Dinasti Ho yang Budha dan anti Islam berpusat di Hanoi. Maulana Malik Ibrahim adalah Grand Master para Wali Songo, jika sasaran dakwahnya adalah pulau Jawa, sebagai basis kerajaan Hindu-Budha yang tersisa, terlalu naif memilih Champa sebagai markas pusat pergerakan baik menyangkut dukungan logistik, politik maupun ketentaraan. Sebagaimana dicatat sejarah, pada masa itu para Sultan dan Ulama, baik yang ada di Arab, Persia, India termasuk Cina yang sudah dipegang penguasa Islam memfokuskan penaklukkan kerajaan besar Majapahit sebagai patron terbesar Hindu-Budha Nusantara.

Kaisar Cina yang sudah Muslimpun mengirim Panglima Besar dan tangan kanan dan kepercayaannya, Laksamana Cheng-Ho untuk membantu gerakan Islamisasi Jawa. Sementara hubungan dakwah via laut pada saat itu sudah terjalin jelas menunjukkan hubungan antara Jawa-Pasai-Gujarat-Persia-Muscat-Aden sampai Mesir, yang diistilahkan Azra sebagai Jaringan Ulama Nusantara. Yang artinya, wilayah Acheh Jeumpa lebih mungkin berada di sekitar pusat gerakan dan lintasan jaringan tersebut daripada Champa Kambodia. Adalah hal yang mustahil, seorang Wali sekelas Maulana Malik Ibrahim, bapak dan pemimpin para Wali di Jawa, yang telah berhasil membangun jaringan di Nusantara, setelah 13 tahun di Champa tidak dapat membangun sebuah kerajaan Islam atau meninggalkan jejak-jejak kegemilangan peradaban Islam, atau hanya sebuah prarasti seperti pesantren, maqam atau sejenisnya yang akan menjadi jejaknya. Bahkan Raffles menyebutnya sebagai orang besar, sementara sejarawan G.W.J.

Drewes menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh yang pertama-tama dipandang sebagai wali di antara para wali. ''Ia seorang mubalig paling awal,'' tulis Drewes dalam bukunya, New Light on the Coming of Islam in Indonesia. Gelar Syekh dan Maulana, yang melekat di depan nama Malik Ibrahim, menurut sejarawan Hoessein Djajadiningrat, membuktikan bahwa ia ulama besar. Gelar tersebut hanya diperuntukkan bagi tokoh muslim yang punya derajat tinggi.

Maulana Malik Ibrahim memiliki seorang saudara yang terkenal sebagai ulama besar di Pasai, bernama Maulana Saiyid Ishaq, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Menurut cacatan sejarah, beliau adalah salah seorang ulama yang dihormati di kalangan istana Pasai dan menjadi penasihat Sultan Pasai di zaman Sultan Zainal Abidin dan Sultan Salahuddin. Sebelum bertolak ke tanah Jawa, ayahanda beliau, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), yang juga datang dari Persia atau Samarqan, tinggal dan menetap juga di Pasai. Jadi menurut analisis, beliau bertiga datang dari Persia atau Samarqan ke Kerajaan Pasai sebagai pusat penyebaran dakwah Islam di Nusantara, pada sekitar abad ke 13 Masehi, bersamaan dengan kejayaan Kerajaan Pasai di bawah para Sultan keturunan Malik al-Salih, yang juga keturunan Ahlul Bayt. Sementara Sunan Ampel atau Raden Rahmat yang dikatakan lahir di Champa, kemudian hijrah pada tahun 1443 M ke Jawa dan mendirikan Pesantren di Ampeldenta Surabaya, adalah seorang ulama besar, yang tentunya mendapatkan pendidikan yang memadai dalam lingkungan Islami pula.

Adalah mustahil bagi Sang Raden untuk mendapatkan pendidikannya di Champa Kambodia pada tahun-tahun itu, karena sejak tahun 1390 M atau sepuluh tahun sebelum kelahiran beliau, sampai dengan abad ke 16, Kambodia dibawah kekuasaan Dinasti Ho yang Budha dan anti Islam sebagaimana dijelaskan terdahulu. Apalagi sampai saat ini belum di dapat jejak lembaga pendidikan para ulama di Champa. Namun keadaannya berbeda dengan Jeumpa Acheh, yang dikelilingi oleh Bandar-Bandar besar tempat pesinggahan para Ulam dunia pada zaman itu. Perlu digarisbawahi, kegemilangan Islam di sekitar Pasai, Malaka, Lamuri, Fatani dan sekitarnya adalah antara abad 13 sampai abad 14 M. Kawasan ini menjadi pusat pendidikan dan pengembangan pengetahuan Islam sebagaimana digambarkan terdahulu.

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa ”Champa” yang dimaksud dalam sejarah pengembangan Islam Nusantara selama ini, yang menjadi tempat persinggahan dan perjuangan awal Maulana Malik Ibrahim, asal ”Puteri Champa” atau asal kelahiran Raden Rahmat (Sunan Ampel), bukanlah Champa yang ada di Kambodia-Vietnam saat ini. Tapi tidak diragukan, sebagaimana dinyatakan Raffles, ”Champa” berada di Jeumpa Acheh dengan kota perdagangan Bireuen, yang menjadi bandar pelabuhan persinggahan dan laluan kota-kota metropolis zaman itu seperti Fansur, Barus dan Lamuri di ujung barat pulau Sumatra dengan wilayah Samudra Pasai ataupun Perlak di daerah sebelah timur yang tumbuh makmur dan maju.

Jika Jeumpa Acheh menjadi asal dari Puteri yang menjadi Permaisuri Maha Prabu Brawijaya V, yang telah melahirkan Raden Fatah, Sultan pertama Kerajaan Islam Demak, kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Jika Jeumpa Acheh adalah tempat dilahirkan dan dibesarkannya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang telah mendidik para pejuang dan pendakwah Islam di Tanah Jawa yang berhasil meruntuhkan dominasi kerajaan-kerajaan Hindu. Jika Jeumpa Acheh adalah tempat persinggahan dan kediaman Maulana Malik Ibrahim, sang Grand Master gerakan Wali Songo yang berperan dalam pengembangan Islam dan melahirkan para Ulama di tanah Jawa. Jika Jeumpa Acheh adalah daerah yang menjadi bagian dari Kerajaan Pasai yang telah melahirkan banyak Ulama dan pendakwah di Nusantara. Maka tidak diragukan, secara tersirat bahwa Jeumpa dan tentunya Pasai memiliki peran besar proses penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.

Dan Kerajaan Pasai, sebagai pusat Islamisasi Nusantara, sangat berkepentingan untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit, karena ia adalah satu-satunya penghalang utama untuk pengislaman tanah Jawa. Maka para Sultan dan para Ulama serta cerdik pandai Kerajaan Pasai telah menyusun strategi terus menerus dengan segala jaringannya untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu ini. Bahkan Kekaisaran Cinapun yang telah dikuasai Muslim ikut andil dalam Islamisasi ini, terbukti dengan mengirimkan Penglima Besar dan kepercayaan Kaisar yang bernama Laksamana Cheng Ho. Jalan peperangan tidak mungkin ditempuh, mengingat jauhnya jarak antara Pasai dengan Jawa Timur sebagai pusat Kerajaan Majapahit.

Maka ditempuhlan jalan diplomasi dan dakwah para duta dari Kerajaan Pasai.
Rupanya para Grand Master terutama Maulana Malik Ibrahim sebagai utusan senior para pendakwah, menemukan sebuah cara yang dianggap bijak, yaitu melalui jalur perkawinan. Maka dikawinkanlah iparnya yang bernama Dwarawati atau Puteri Jeumpa yang cantik jelita dan cerdas tentunya, dengan Prabu Brawijaya V, yang konon masih memeluk Hindu. Kenapa Sang Bapak Para Wali Songo ini berani mengambil kebijakan itu. Tentu hanya Allah dan beliau yang tahu. Dan akhirnya sejarah kemudian mencatat, anak perkawinan Puteri Jeumpa Dwarawati dengan Prabu Brawijaya V, bernama Raden Fatah adalah Sultan Kerajaan Islam Demak pertama yang telah mengakhiri dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dan Kerajaan-Kerajaan Hindu lainnya.

Mungkin pertimbangan Maulana Malik Ibrahim menikahkan iparnya Puteri Jeumpa berdasarkan ijtihad beliau setelah mengadakan penelitian panjang terhadap tradisi dan budaya orang Jawa yang sangat menghormati dan patuh bongkokan kepada Raja atau Pangeran yang selama ini dianggap sebagai titisan para Dewata, sebagaimana cerita-cerita pewayangan di Jawa. Jika ada seorang Raja atau Pangeran yang masuk Islam, maka akan mudah bagi perkembangan Islam. Karena Jawa adalah salah satu daerah yang sangat sulit diislamkan sampai saat itu, mengingat kuatnya dominasi Kerajaan Hindu Majapahit. Itulah sebabnya, ketika Puteri Jeumpa telah hamil, dia ditarik dari istana Majapahit, dihijrahkan ke wilayah Islam lainnya, kabarnya ke Kerajaan Melayu Palembang.

Setelah lahir anaknya, Raden Fatah, Puteri Jeumpa kembali ke Jawa Timur, tapi bukan ke istana Majapahit, tapi ke Ampeldenta Surabaya, ke tempat anak saudaranya Raden Rahmat (Sunan Ampel) untuk mendidik Raden Fatah agar menjadi pemimpin Islam. Setelah dewasa, karena masih Raden Pangeran Majapahit, maka Raden Fatah berhak mendapat jabatan, dan beliau diangkat sebagai seorang Bupati di sekitar Demak. Saat itulah para Wali Songo yang sudah mapan mendeklarasikan sebuah Kerajaan Islam Demak, di Bintaro Demak, sebagai Kerajaan Islam pertama di Jawa. Karena Raden Fatah adalah titisan Raja Majapahit, maka orang-orang Jawapun dengan cepat mengikuti agamanya dan membela perjuangannya sebagaimana dicatat sejarah dalam buku Babat Tanah Jawi.

Jadi prestasi terbesar Kerajaan Pasai adalah keberhasilannya mengembangkan Kerajaannya sebagai pusat Islamisasi Nusantara, terutama keberhasilannya mengislamisasikan pulau Jawa yang telah coba dilakukan berabad-abad oleh para pendakwah dan pejuang Islam. Namun sayang fakta sejarah ini selalu ditutup-tutupi oleh para penjajah Belanda dan antek-anteknya di Jawa. Bahkan sebagian orang-orang Jawa tidak pernah menganggap bahwa para Wali Songo adalah alumni perguruan tinggi Islam yang sudah berkembang pesat di Acheh, baik di sekitar Pasai, Perlak, Jeumpa, Barus, Fansur dan lain-lainnya yang selanjutnya akan dibuktikan dengan tampilnya ulama-ulama besar dan berpengaruh di Nusantara asal Acheh seperti Hamzah Fansuri, Samsuddin al-Sumatrani, Maulana Syiah Kuala, Nuruddin al-Raniri dan lain-lainnya.

Sumber : http://www.acehforum.or.id

ACEH Institute

Sejarah dan Budaya Aceh BANYAK ditulis Oleh kaum orientalis barat. Konon, dokumen sejarah dan Budaya Aceh terlengkap tidak dimiliki Aceh, TAPI ADA di Belanda Dalam, Aceh Institute.


Aceh Institute dibangun FUNDS 31 Juli 1914 Atas Prakarsa Prof Dr Cristian Snouck Hurgronje, Yang kemudian ditetapkan Artikel Baru surat keputusan Nomor 61 KB Oleh pemerintah Kolonial Belanda. Tulisan-tulisan tentang Aceh Yang ditulis Oleh Ahli ketimuran, BAIK Bahasa Dari Belanda maupun Penulis-Penulis barat Yang pernah membuat penelitian di Aceh, semuanya dihimpun di Aceh Institute nihil. Prof Dr Aboe Bakar Atjeh Dalam, makalah tentang "Wajah Aceh Dalam, Lintasan Sejarah" Yang disampaikan FUNDS seminar Kebudayaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) kedua years 1972, menyebutkan susunan pengurusan Aceh Institute ketika ITU, Ketua Prof Dr Cristian Snouck Hurgronje. Sekretaris Dr C Janssen Dan Prof J V.Van Werde CJ Haselman sebagai Bendahara. Untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda kala ITU Dalam, Pratama Afiliasi menaklukan Aceh, Maka berbagai adat dan Budaya Serta karakteristik 'masyarakat Aceh diteliti di Atjeh institute. Lalu dibukukan Artikel Baru menggunakan bahasa Belanda. Buku-Buku Yang terlengkap tentang sejarah dan Budaya Aceh Yang sampai SAAT inisial terpelihara.Kesungguhan pemerintah kolonial Belanda Dalam, mendalami Dan meneliti karakteristik dan Budaya Aceh, tercermin Bahasa Dari pembentukan Atjeh Institute nihil. Bahkan, Snouck Dikirim Ke Mekkah untuk mendalami Islam agar lebih mudah berintegrasi Artikel Baru 'masyarakat Aceh Dalam, melakukan penelitiannya. Ketika ITU orangutan Aceh menerimanya Dan menempatkannya SETARA ulama. Sebagaimana sejarah mencatat, dimana Snouck sering menjadi khatib dimesjid-mesjid ditempat dia melakukan penelitian. Sehingga Snouck dipanggil Oleh orangutan Aceh SAAT ITU Artikel Baru Gelar "Teungku Puteh" Yang dibermakna ulama Bahasa Dari barat.Padahal dia sebenarnya Bukan muslim, melainkan orangutan Yang Punya BANYAK pengetahuan tentang Agama Islam. Buah Bahasa Dari Investigasi pura-pura Islam Snouck nihil, Maka lahirlah Buku sector Aceh. Ia melakukan penelitian Langsung Ke Aceh Penghasilan kena pajak sebelumnya mengumpulkan data Data Bahasa Dari pelawatan Aceh Dan cina Yang pernah singgah di Aceh, BAIK Masa Hindu maupun Penghasilan kena pajak kedatangan Islam. Seperti Dr GAJ Hazuee, Dan J Kreemer. * Semua Wesel penelitian mereka ditanggung Oleh Aceh Institute. Bahasa Dari penelitian mereka, lahir pulalah Buku-Buku tentang Kebudayaan Dan Sejarah zaman keemasan Aceh yaitu Buku "Aceh" Yang ditulis Oleh Kreemer Dan Buku "Encyopedie Van Ned Indie". Buku "Aceh" Yang ditulis Oleh Kreemer merupakan Yang terluas cakupannya tentang Identitas dan Budaya rakyat Aceh. Hal ITU dilatari kepentingannya menulis Buku nihil Yang lebih didominir rasa Tanggung jawabnya sebagai Pakar sejarah Bahasa Dari FUNDS kepentingan Politik pemerintah kolonial Belanda SAAT ITU. SEMENTARA Bahasa Dari Kalangan Jurnalis, Muncul HC Zentgraaf, Redaktur Kepala surat kabar Java Bode. Mantan serdadu Belanda Yang pernah Ikut Dalam, perang Aceh, Penghasilan kena pajak Pensiun Bahasa Dari Militer Dan BEKERJA sebagai Wartawan perang. Ia menulis tentang kebrutalan serdadu Moersose bentukan Belanda Dalam, memerangi rakyat Aceh. Rangkuman Bahasa Dari pengalamannya itulah Yang kemudian dikumpulkan dealam Buku "Aceh".Zentgraaf Artikel Baru gamblang menulis tentang karakteristik, keperkasaan Serta ketangguhan rakyat Aceh Dalam, menghadapi Serangan Belanda.Zentgraaf tidak segan-segan mencela bangsanya (Belanda-red) SENDIRI Yang terlalu arogan. Buku Zentgraaf nihil Artikel Baru Berani diterbitkan FUNDS Masa pemerintahan kolonial Belanda Masih menguasai nusantara, BANYAK kritikus menilai Buku nihil merupakan gondam Yang memukul pemerintah Belanda kala ITU. PADA Masa ITU ADA JUGA beberapa Penulis Before, Yang menulis tentang Aceh, diantaranya, Van Veer, Van Graaff, van Den Plass, Van Den Nomensen, semuanya bahasa Dari Belanda. Kemudian Prof Dr Griff Bahasa Dari Inggris, Marcopolo Bahasa Dari asal Spanyol, Dan Prof Dr Wit Shing Bahasa Dari cina. Soal Dokumentasi sector, rakyat Jawa lebih beruntung, Atas Prakarsa Almarhum Prof Dr DA Husein Djajninggrat berhasil melobi pemerintah kolonoal Belanda untuk MEMBANGUN Java Institute di Yogyakarta Artikel Baru Museum Sono Budoyo Dan Majalah Jowo. Sampai sekarang Masih terpelihara Artikel Baru BAIK. Begitu JUGA di Surakarta walau tidak begitu LENGKAP, Masih mempunyai Pusat Kebudayaan Yang mencerminkan karakteristik daerahnya. Pusat Kebudayaan Yang dikenal Radio Putoko ITU terdapat di LOKASI latihan Dan termanifestasi Kebudayaan Yang dinamai Taman Sriwidari. Namun Aceh, KARENA keunikannya Dan Oleh Belanda Atjeh Institute tidak dibangun di Aceh, melainkan di Negeri Belanda. KARENA Belanda menilai Ulasan Sangat Penting Dokumentasi tentang Aceh Ketimbang daerah adalah Before di nusantara Yang berhasil ditaklukkannya. diplomasi 1602 Ketertarikan Belanda Terhadap Aceh sudah dimulai sejak diplomat Aceh, Abdul Hamid mengunjungi Belanda, Yang konon Katanya merupakan diplomat PERTAMA Bahasa Dari asia Yang menjalin hubungan Artikel Baru Kerajaan Belanda waktu ITU . Abdul Hamid diutus Oleh Sultan Alauddin Al Mukamil Ke Negeri kincir Angin nihil. Rombongan duta Aceh ITU Tiba FUNDS Agustus 1602, TAPI FUNDS 9 Agustus Abdul Hamid meninggal di Negeri eropa ITU Dan dimakamkan diperkarangan Gereja St Pieter di Middelburg, Zeeland. * Menurut Prof Osman Raliby Dalam, sebuah tulisan tentang Aceh, Dunia orangutan Aceh berubah CEPAT KARENA pengaruh Agama Islam . Hal ITU kemudian ditambah Artikel Baru Artikel Baru bersentuhannya Aceh pedagang-pedagang internasional hanya Yang MENCARI rempah-rempah Ke Aceh sejak Abad Ke 14. Namun, sejak 18 Agustus 1511, Portugis Yang menduduki Malaka menjadi ancaman * Bagi perdagangan rempah-rempah di Aceh. Raja Aceh Yang sudah melakukan KONTAK Dagang Artikel Baru kerajaan-kerajaan Islam di India, Persia, Mesir, Turki, Dan Bandar-bandar di Laut Merah Dagang, menyadari Hal nihil. Akan tetapi Tetap menjaga hubungan Artikel Baru Portugis. Persaingan Dagang kemudian membuat hubungan renggang ITU, KARENA Portugis berhasrat untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Selat Malaka. KARENA ITU pula Portugis berusaha menghentikan * Semua pengangkutan rempah-rempah Bahasa Dari Pelabuhan Aceh. Malah, FUNDS years 1520 Laksamana Raja Muda Dan Portugis di Goa, Dirgo Lopez De Sequeira mengancam Artikel Baru mengultimatum Akan menyerang KAPAL-KAPAL Yang melakukan KONTAK Dagang Artikel Baru Aceh. Aceh Dan Portugis pun menjadi musuh bubuyutan di Selat Malaka. Sembilan years kemudian (1529) Portugis ingin merebut Pelabuhan Pidie Dan Pase Yang menjadi bandar perdagangan rempah-rempah. Namun Pratama Afiliasi Portugis nihil Gagal. Raja Aceh berhasil menghalau Portugis untuk Dilaporkan Ke Malaka. Malah FUNDS Desember 1529, KAPAL-KAPAL Aceh Muncul di DEPAN Canannore di Pantai barat India, membantu armada Raja Kalicut Yang bertempur Melawan Angkatan laut Portugis di Goa. Selanjutnya, * Menurut Prof Dr H Aboebakar Atjeh, Dalam, years 1599-SAAT ITU Aceh dipimpin Sultan Alauddin Riayatsyah Yang dikenal Artikel Baru sebutan Sayid Al Mukammal (1588-1604) - Belanda Datang Ke Aceh merintis perdagangan rempah-rempah. Orang PERTAMA Belanda Yang Datang Ke Aceh ITU adalah doa bersaudara Cornelis de Houtman Dan Frederik de Houtman. Keduanya diutus Oleh Zeewsche Reeder Balthazar de Moecheron, Belanda. Keduanya Datang Artikel Baru doa KAPAL Besar Dan berlabuh di Pelabuhan Kerajaan Aceh. Menyadari adanya Misi Dagang Belanda Ke Aceh, Portugis Yang sudah duluan menduduki Malaka menghasut Kerajaan Aceh untuk tidak menerima Misi Dagang Belanda ITU.Pasalnya, Portugis Tetap berkeinginan untuk memonopoli perdagangan rempah-renpah. Apalagi waktu ITU Portugis bermusuhan Artikel Baru Belanda. Raja Aceh pun terpengaruh, doa Utusan Dagang Belanda ITU, Frederick de Houtman Cornelis de Houtman Dan ditahan. KARENA negoisasi Ekonomi Yang Gagal Maka Cornelis pun kemudian dibunuh. SEMENTARA Frederick Ditangkap Dan ditawan. Kedua KAPAL Belanda ITU pun berlayar Dilaporkan Ke Middelburg, Belanda. J Kreemer, seorang Penulis Belanda Dalam, Buku "Aceh" menjelaskan, FUNDS November 1600 Paulus van Caerden, Teman sepelayaran Artikel Baru Pieter Both memerintahkan Dilaporkan doa buah KAPAL Bahasa Dari Brabantsche Compagnie untuk merintis hubungan Dagang Artikel Baru Aceh. Paulus van Caerden berhasil membuat suatu JGI Dagang Artikel Baru Aceh, TAPI KARENA SAAT ITU Aceh Masih Terus dihasut Oleh Portugis untuk tidak BEKERJA sama deangan Belanda. Muatan rempah-rempah dibongkar Dilaporkan Bahasa Dari KAPAL Belanda, mereka pun Dilaporkan Ke Belanda Tanpa REVENUES apa-APA.SAAT itulah Federick de Houtman berhasil lari Bahasa Dari tawanan orangutan Aceh Dan Naik Ke KAPAL Van Caerden untuk melarikan Diri. TAPI besarbesaran kemudian mengurungkan niatnya Dan Dilaporkan menyerahkan Diri kepada Sultan Aceh. Cerita tentang Peristiwa nihil terangkum Dalam, De Europeers di den Maleishen Archipel, Dan Het handelsverdrag van V Caerden, Dalam, Buku JE Heeres: Corpus Diplomaticum. Sebuah PT LAUTAN tentang diplomasi Dagang Belanda Ke Malaka. Pun demikian, Belanda Terus berusaha untuk merintis perdagangan rempah-rempah Ke Aceh. Diminasi Portugis di Selat Malaka Dalam, perdagangan ingin direbut Belanda. KARENA pedagang pedagang Bahasa Dari Belanda Terus Saja berdatangan Ke Kerajaan Aceh untuk melakukan KONTAK Dagang hubungan Dagang ANTARA Aceh Dan Portugis jadi Putus. Hubungan Dagang Hubungan Dagang Kerajaan Aceh Artikel Baru Kerajaan Belanda pun Resmi terjalin FUNDS years 1601. Ketika ITU Raja Belanda, Cetak Maurist melalui utusannya Ke Aceh Yang merintis Dilaporkan urusan Dagang, mengirim sepucuk surat Serta program Hadiah-program Hadiah Bahasa Dari Kerajaan Belanda untuk Raja Aceh. Pedagang-pedagang Belanda Bahasa Dari Yang membawa surat Dan program Hadiah nihil Datang Bahasa Dari Misi Dagang Gerard le Roy Dan Laurens Bicker Artikel Baru beberapa buah KAPAL Bahasa Dari maskapai Zeeuw Yang merupakan sebuah Eskader Bahasa Dari Middelburg. Utusan Raja Belanda ITU ipun diterima Artikel Baru BAIK Oleh Raja Aceh. Kepada mereka diberikan disebut ijin mendirikan maskapai Dagang untuk membeli rempah-rempah di Aceh.SEMENTARA Frederick de Houtman Dan Teman-temanya Yang ditahan Oleh Sultan Aceh dibebaskan. Ketika KAPAL Zeeuw berangkat Bahasa Dari Aceh membawa rempah-rempah Ke Belanda, Sultan Aceh mengirim utusannya Ke Belanda Artikel Baru menumpang KAPAL nihil untuk menguatkan persahabatan JGI ANTARA Aceh Dan Belanda. Utrusan Aceh Yang Dikirim Sultan Alauddin Riayatsyah al Mukamil ITU adalah, Abdul Hamid, duta Besar Kerajaan Aceh, Laksamana Sri Muhammad, Mir Hasan, seorang bangsawan Dan Aceh, Serta Penerjemah Leonard Werner. Rombongan inisial Tiba di Belanda FUNDS month Agustus 1602. kedatangan mereka disambut Besar-besaran. FUNDS 9 Agustus Duta Besar Aceh, Abdul Hamid meninggal di sana Dan dimakamkan diperkarangan Gereja St Pieter di Middelburg, Zeeland.Sejarah pertemuan duta Aceh Artikel Baru Raja Belanda, Cetak Maurist nihil kemudian ditulis Oleh Dr JJF Wap Dalam, Buku "Het gezantschap van den Sultan van Achin (1602) aan Cetak Maurits van Nassau en de Oud-Nederlandsche Republiek," 1862. [] Penulis & Sumber: Iskandar Norman -Harian Aceh

TRAGEDI SIMPANG KKA

Tanggal 3 Mei punya banyak makna bagi warga Aceh Utara, dan juga bagi masyarakat Aceh pada umumnya. Tanggal tersebut selain bermakna resistensi atau perlawanan rakyat melawan negara, juga sebuah kenangan buruk, betapa negara begitu semena-mena terhadap rakyatnya. Karenanya, saban tahun—meski tak rutin karena kondisi Aceh tak selalu kondusif untuk mengenang tragedi—warga Aceh Utara khususnya para korban tragedi Simpang KKA memperingatinya.



Sekedar merawat ingatan, Senin, 3 Mei 1999 atau sebelas tahun silam, banyak darah berceceran di sekitar simpang PT KKA. Jeritan dan tangisan para korban memecah telinga siapa saja yang pernah mendengar. Saat itu, harga peluru tentara begitu murahnya, karena bisa dihambur-hamburkan dengan sangat mudah. Setelah itu, puluhan mayat dan ratusan korban tergelatak, ada yang sudah kaku, banyak juga yang masih bernyawa sambil merintih, yang lainnya berlarian seperti dikejar air tsunami, mencari tempat yang bisa dijadikan tempat berlindung.



Saat tragedi itu, korban luka-luka tak terhitung. Hanya data yang dikumpulkan oleh Tim Pencari Fakta (TPF) Aceh Utara menyebutkan 115 orang mengalami luka parah, sementara 40 orang lainnya meninggal dunia. Dari jumlah itu, ada 6 orang masih sangat kanak-kanak, termasuk Saddam Husein (7 tahun) menjadi korban kebuasan aparat negara.

Sementara data yang dikeluarkan Koalisi NGO HAM Aceh, menyebutkan sekitar 46 orangmeninggal (dua orang meninggal ketika menjalani perawatan di RSUZA Banda Aceh), sebanyak 156 mengalami luka tembak, dan 10 orang hilang dalam insiden tersebut.

Meskipun banyak pihak melupakan peristiwa itu, tidak bagi para korban. Jamaluddin, misalnya, sampai sekarang masih terkenang dengan tragedi paling kejam dalam hidupnya. Jamal, kelahiran Sawang, Aceh Utara mengisahkan, bahwa saat peristiwa itu terjadi, dirinya melihat banyak sekali korban tembakan yang rubuh. Jamal juga mendengar jeritan tangis dari para ibu dan bapak yang melihat warga tertembak.

Jamal sendiri mengaku, saat tragedi itu, tubuh-tubuh warga yang kena tembakan jatuh menindihnya. Dengan sisa tenaga yang ada, mayat-mayat diambil dan diletakkan di tempat yang layak. Jamal mengaku, tak tahu harus berkata apa saat itu. Jamal, sendiri luput dari maut.Jamal berharap Pemerintah Aceh tidak melupakan peristiwa itu. Kalau memang ini pelanggaran HAM, pelakunya harus diadili. Karena itulah keadilan bagi korban.


Kronologi Peristiwa

Sebelum Kejadian

Jumat malam, 30 April 1999, Sekitar jam 20.30 WIB masyarakat Desa Cot Murong, Kecamatan Dewantara, mengadakan rapat akbar untuk memperingati 1 Muharram yang bertepatan dengan 30 April 1999. Oleh pihak keamanan, peringatan 1 Muharram yang biasa diselenggarakan oleh masyarakat Islam di manapun di seluruh Propinsi Aceh, disebut sebagai ceramah Gerakan Aceh Merdeka (GAM).



Lalu muncul kabar bahwa seorang anggota TNI dari kesatuan Den Rudal 001/Pulo Rungkom berpangkat Sersan, bernama Adityawarman, hilang saat melakukan penyusupan di tengah kegiatan ceramah (Keterangan Kapuspen TNI, nama anggotanya yang hilang itu adalah Sersan Kepala Edi, dari Den Rudal 001/Pulo Rungkom, Aceh Utara).

Tidak jelas apakah anggota TNI itu benar hilang atau terjadi berbagai kemungkinan lainnya, tetapi yang pasti tidak satupun dari penduduk yang mengetahui keberadaannya. Dan yang pasti lagi, malam itu tidak terjadi apa-apa yang berarti di Desa Cot Murong.

Sabtu malam, 1 Mei 1999

Sebuah truk militer dari kesatuan Den Rudal 001/Pulo Rungkom berputar-putar dikawasan Desa Cot Murong dengan aktivitas yang tidak jelas, tetapi hari itu tidak terjadi apa-apa.

Minggu pagi, 2 Mei 1999



Mulai pukul 05.00 WIB pasukan Den Rudal 001/Pulo Rungkom mulai melakukan operasi di kawasan Desa Cot Murong. Pada minggu pagi itu masyarakat sedang melakukan persiapan pelaksanaan kenduri memberi makan untuk anak-anak yatim sehubungan dengan pringatan 1 Muharram yang dilaksanakan sejak Jumat malam sebelumnya. Masyarakat memotong 4 ekor lembu di halaman Masjid Al-Abror, Cot Murong.

Pada saaat itulah, sekitar jam 11.00 WIB datang pasukan Den Rudal ke tempat kenduri dan dengan dalih menanyakan anggotanya yang hilang sehari sebelumnya mulai memuli warga setempat. Dilaporkan, waktu itu ada tidak kurang 20 orang yang dianiaya oleh anggota TNI tersebut. Praktek kekerasan dan penganiayaan dengan bertindak kasar, menampar dan memukuli hingga cedera, telah terjadi.
Ketika sedang melancarkan aksinya, penduduk sempat mencatat kata-kata yang dikeluarkan para anggota TNI yaitu "AKAN KAMI TEMBAK SEMUA ORANG ACEH APABILA SEORANG ANGGOTA KAMI TIDAK DITEMUKAN".

Menyadari kondisi yang mulai mencemaskan tersebut kemudian para warga dari Desa Murong dan desa-desa tentangga seperti Desa Lancang Barat, Kecamatan Nisam dan Paloh Lada, yang terdiri dari pemuda, wanita, orang tua serta anak-anak berkumpul untuk mencegah kemungkinan penganiayaan lebih lanjut, apalagi aparat militer telah mengeluarkan ancaman yang cukup menakutkan.

Tiba-tiba, pada pukul 13.00 WIB datang lagi pasukan tambahan yang terdiri dari 7 truk anggota TNI ke lokasi kenduri. Melihat itu, masyarakat yang telah berkumpul dari berbagai penjuru Kecamatan mencoba menghadang.

Tepat pukul 14.00 WIB terjadi negosiasi (membuat perjanjian) antara masyarakat Kecamatan Dewantara dengan Danramil Kecamatan Dewantara yang diketahui pihak MUI Kecamatan, yang isinya: "TNI tidak akan datang lagi ke Desa Cot Murong dengan alasan apapun".

Saat Kejadian

Minggu malam, 2 Mei 1999. Masyarakat desa mengetahui adanya penyusupan anggota TNI antara jam 20.00 WIB sampai dinihari ke Desa Cot Murong dan Desa Lancang Barat. Bahkan penduduk pun mengetahui adanya sebuah boat yang diperkirakan milik militer berupaya untuk melakukan pendaratan di pantai Desa Cot Murong, namun batal karena terlanjur diketahui oleh warga setempat. Sampai waktu itu tidak terjadi apa-apa, namun kecemasan penduduk semakin memuncak, dan sejak saat itu mereka semua mulai berkumpul sampai Senin pagi.



Senin pagi, 3 mei 1999.

Tepat pada pukul 09.00 WIB, 4 truk pasukan TNI datang lagi memasuki Desa Lancang Barat, desa tentangga Cot Murong. Massa rakyat yang berkumpul merasa cemas dan mulai mempersenjatai diri dengan kayu dan parang (tanpa senjata api). Lalu datang Camat Dewantara, Drs. Marzuki Amin ke Simpang KKA dan mulai melakukan negosiasi dengan aparat TNI. Aparat berkeras dan negosiasi mentok. Camat tetap berpegang kepada perjanjian terdahulu yang telah disepakati oleh masyarakat dengan Koramil Dewantara yang intinya pihak TNI tidak lagi melakukan kegiatan operasi di daerah mereka. Negosiasi itu beralangsung cukup lama. Waktu sudaah menunjukkan hampir jam 12.00 WIB.

Untuk menunjukkan kesungguhan hati dan permohonan yang sangat besar agar pasukan segera ditarik dan pihak TNI menghormati perjanjian yang telah dibuat, Camat Marzuki Amin sempat mencopot tanda jabatan dari dadanya. Tetapi malah sang Camat kemudian dipukuli oleh tentara.

Pada saat itu tiba-tiba satu truk milik TNI bergerak dan sambil berlalu, dari atas truk para tentara melempari batu ke arah masyarakat, dan masyarakat yang terpancing balas melempari batu ke atas truk. Pada saat yang hampir bersamaan juga seorang anggota tentara berlari kearah semak-semak dan masyarakat yang terpancing mengejarnya. Tiba-tiba dari arah semak itu terdengar satu letusan senjata. Letusan senjata itulah yang seperti sebuah "komando" disusul oleh rentetan serangan. Pembantaian segera dimulai. Tepat jam 12.30 WIB.
Saat Kejadian.

Pukul 12.30 WIB, Suara gemuruh dan teriakan manusia memenuhi Simpang KKA. Ribuan orang berlarian menghindari serangan dari TNI. Dua wartawan RCTI (Umar HN dan Said Kaban) yang kebetulan sudah berada di tempat itu sempat merekam moment-moment penting yang terjadi baik dengan foto atau video. Dapat dikatakan, hasil rekamannya itu menjadi salah-satu bukti yang paling akurat dan tidak mungkin dapat dipungkiri tentang bagaimana peristiwa yang sebenarnya.



Tembakan yang dilakukan tanpa peringatan terlebih dahulu dan dengan posisi siap tempur. Tentara yang dibagian depan jongkok dan yang berada pada barisan belakang berdiri. Selain itu, tentara yang berada di atas truk juga terus melakukan tembakan sambil melakukan gerakan-gerakan tempur. Saat itu penduduk yang tidak lagi sempat lari melakukan tiarap tapi terus diberondong.

Selain melakukan tembakan kearah masa, TNI juga mengarahkan tembakan ke rumah-rumah penduduk, sehingga banyak warga yang sedang di dalam rumah juga menjadi korban. Bahkan mereka mengejar dan memasuki rumah-rumah penduduk dan melakukan pembantaian di sana.

Ketika melakukan tembakan para anggota tentara itu juga berteriak-teriak. Kalimat yang paling sering diucapkan adalah "Akan kubunuh semua orang Aceh". Dalam aksi pembantaian tersebut, 45 jiwa Tewas di tempat, 156 lainnya Luka-luka kebanyakan karena luka tembak, dan 10 diantaranya Hilang sampai saat ini tidak tahu keberadaannya. Banyak penduduk yang sudah tertembak dan tidak bisa lari lagi masih terus diberondong oleh tentara dari belakang. Mereka benar-benar melakukan pembantaian seperti sebuah pesta.

Sumber: Koalisi NGO HAM Aceh